Tidak ada libur untuknya, menjadi seorang tenaga kesehatan, cuti sehari saja menjadi cuti yang paling berharga. Setelah lelah menempuh perjalanan, Dilla langsung tertidur, tinggal jauh dari rumah dan sendiri membuat Dilla menjadi mandiri, itu sudah keputusannya. Melancong, itu yang dipikirkan Dilla setelah dia lulus wisuda 2 tahun lalu dengan menyandang gelar sarjana terapan kebidanan dan memilih bekerja di rumah sakit swasta yang menjanjikan.
Dilla menatap dirinya sendiri di depan cermin, dia memastikan penampilannya sempurna sebelum berangkat kerja. Single dan memiliki pekerjaan tetap membuat Dilla bisa berhemat, dia lebih memilih membawa sepeda motornya dan mencari kos yang murah. Selama ini dia juga memilih memasak sendiri, hemat jauh lebih baik. Memasuki pelataran rumah sakit, Dilla langsung memarkir motornya di area khusus pegawai dan bergegas menuju ruangan. Dia melirik sekilas pada jam tangan kecil yang sangat kuno itu, sejujurnya dia membeli jam itu saat duduk di bangku SMP, dengan uang tabungannya, karena itulah dia menyebutnya jam kuno dan...berharga.
Setelah menyimpan tas dan berganti pakaian, Dilla memasuki ruangan yang ternyata sudah ramai. Hampir seluruh bed terisi pasien. Dilla melihat Affia duduk tekun melihat rekam medik pasien.
"Berapa pasien?" tanyanya sambil duduk.
"9 orang. 5 pasien fase laten..."
"4 pasien?"
"2 rencana secsio secaria, indikasi lilitan tali pusat dan letak sungsang. 2 pasien fase aktif..."
Dilla menghela napas membaca rekam medik pasien. Dia melihat jam dan langsung beranjak menuju etalase alat – alat kesehatan. Beberapa petugas jaga malam mengikutinya, Dilla memakai sarung tangannya dan melakukan VT pada 2 pasien fase aktif.
Tugasnya mulia, sungguh, Dilla begitu menyukai profesinya, walau dia tidak pernah mendapatkan libur dan sulit untuk pulang ke kampung halamannya, tapi dia merasa enjoy karena dia menyukai profesinya yang begitu mulia. Bayangkan, ada semacam sensasi aneh saat kau bisa membantu seorang ibu yang melahirkan, membawa nyawa kecil untuk bisa hidup di dunia, mendengar tangis kencang seorang bayi merah yang menandakan paru – parunya bekerja dengan sempurna.
Bahkan Dilla ingat, saat pertama kali dia menolong persalinan, ia langsung menangis. Sungguh pemandangan yang indah, kedua orang tua yang mendekap bayi kecil nan mungil itu, bayi yang selama ini di tunggu – tunggu hadir ke dunia.
"Observasi pasien fase aktif setiap 30 menit, ya?" pesannya pada bidan magang yang mengikutinya setelah selesai memeriksa seluruh pasien.
"Sudah?" tanya Affia, ia sedang sibuk menulis rekam medik pasien, menyiapkan blanko tes urine dan tes darah.
"Sudah. Jam berapa pertemuan dengan mahasiswa praktik?" Dilla mencuci tangannya, mengeringkannya dan duduk di kursi, sibuk dengan buku besar dan menulis hasil pemeriksaannya tadi.
"Jam 9 nanti. Oh, ya.. ada juga pertemuan untuk menyambut dokter baru." ucap Affia tiba – tiba, Dilla melirik sekilas ekspresi wajah Affia.
"Ada apa dengan dokter baru itu? Wajahmu begitu bersinar.." tanya Dilla curiga.
Affia meletakkan bolpoin nya dan tertawa. "Kamu tahu saja. Dokternya ganteng. Lulusan luar negeri, setelah lulus bekerja di rumah sakit terkenal di sana. Setelah 3 tahun akhirnya kembali ke tanah air dan mengabdi di rumah sakit kita. Hebat, bukan?"
"Memang dokter apa?"
"Spesialis bedah anak.."
"Ooo..." ucap Dilla tidak begitu tertarik dengan penjelasan Affia.
*******
Nino merasa senang, dia disambut baik di rumah sakit milik Pamannya itu. Walau berlabel rumah sakit swasta, tapi Nino sudah melihat dan membaca prestasi – prestasi dan bagaimana pelayanan rumah sakit ini membuatnya kagum. Bagi seorang pasien yang sedang sakit, pelayanan adalah nomor satu, tidak mungkin kan, dia membuat orang yang sakit harus merasakan jenuh dan bosan atau bahkan merasa mereka terabaikan, itu bukan hal baik. Motto rumah sakit Pamannya menggugah dirinya untuk bergabung, 3 tahun bekerja di rumah sakit bertaraf internasional Nino sejujurnya sudah nyaman namun karena Mama dan Papanya menyuruhnya kembali, mau tidak mau Nino kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
MIRACLE OF LOVE [Tamat]
RomanceBanyak yang bilang, luka sembuh seiring berjalannya waktu.. Hal itu tidak berpengaruh pada FARADILLA NADA INDRIANI. Perjuangan, penantian, kesabaran bahkan cinta sekian tahun harus berakhir hanya lewat kalimat pendek menyisakan sakit yang teramat hi...