Ninna memandangi satu per satu patung-patung batu di Museum Nasional. Diam-diam dia terkekeh, saat kalimat Mutia mampir di kepalanya, soal Museum ini yang katanya Museum Jodoh. Sebab keadaan museum yang sepi, seolah-olah menunjukan sulitnya dapat menemukan orang lain selain dirinya di sini. Kecuali, makhluk tak kasat mata.
Suara ponsel tiba-tiba terdengar nyaring dari dalam tas di bahunya. Segera, dia keluarkan ponselnya untuk mengangkat panggilan itu.
"Halo. Iya, aku masih di tempat event, Mbak. Kenapa?"
Udara dingin yang menelusup dari balik pilar-pilar tua sampai di depan wajah Ninna dan membelainya lembut. Perempuan itu dengan cuek terus melangkah dengan tatapan meneliti kepada patung-patung di sana. Suara kelotakan dari sepatu hak tingginya pun terdengar menggema di antara lorong hening museum.
"Acara akikah si Mia? Iya, aku datang," jawab Ninna mengalihkan pandangannya ke arah patung setinggi satu setengah meter di sebelah kanan. "Aku kemungkinan langsung ke Tangerang selesai acara kantor. Aku udah bawa baju ganti kok."
Sampai kedua kaki Ninna mendadak terpaku di tempat. Kedua matanya seketika melebar. Bola mata itu seakan ingin keluar ketika menemukan seorang terkapar dengan posisi tengkurap di lantai.
"Mb—Mbak. Aku tutup ya, nanti aku telepon lagi. Dah."
Wajah Ninna berubah tegang. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri dengan panik untuk mencari bantuan. Namun, nihil. Tidak ada seorang pun yang dapat dia mintai tolong di tempat itu. Sambil melangkah takut-takut, Ninna berjingkat mendekati makhluk yang ternyata adalah seorang lelaki dengan kamera pocket di tangan kanannya.
"Ma—Mas—enggak apa-apa, kan?" tanya Ninna dengan ekspresi tegang sambil berjongkok mengamati sosok itu.
"Oke, sip!" seru lelaki itu tiba-tiba.
Sontak Ninna memundurkan tubuhnya ketika kepala lelaki itu mendongak ke atas. Kemudian masih tanpa kata, dia bangkit sambil memasang tampang kebingungan di depan Ninna.
"Kenapa?" tanya lelaki itu tanpa dosa saat mendapati Ninna yang hampir terjengkang karena kaget.
"Harusnya saya yang tanya ke kamu. Kamu ngapain tidur di situ?" seru Ninna masih terkejut.
"Oh—maaf. Saya pasti bikin kamu kaget. Tadi saya lagi ngamatin pahatan di bagian bawah kayu perahu," terang pria itu tersenyum lebar sambil menyimpan kamera pocket ke dalam tasnya. Kemudian dia menepuk-nepuk kaus polosnya yang terkena debu di lantai. Masih tanpa rasa bersalah.
Sampai tiba-tiba bola mata berwarna cokelat kopi milik lelaki itu bergerak dan berhenti tepat di wajah Ninna. "Sebentar. Saya kayaknya pernah lihat muka kamu, tapi di mana, ya? Apa kita pernah ketemu sebelum ini?"
Ninna berdecak malas seraya melipat kedua tangannya ke dada. "Basi kalau kamu mau coba modus ke saya dengan cara kuno kayak gini."
"Permisi," pamit Ninna melenggang begitu saja. "Dasar gila," gumamnya setelah melewati tubuh lelaki tadi.
Senyum lelaki berkulit terang itu meredup ketika gerutuan Ninna sampai ke telinganya. Wajahnya bahkan tampak keki, apalagi Ninna dengan tak acuh meninggalkan dia seorang diri. Segera saja, dia membawa langkahnya lebar-lebar ke arah yang berlainan dengan Ninna.
"Dasar Jenong."
Sementara itu, senyapnya Museum Nasional dengan angin musim hujan yang berembus memainkan rerumputan di aula utama, seolah diam-diam menanti akan adanya kisah lain dari balik legenda di sana. Legenda soal Museum Jodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
224: Today, Tomorrow, Forever
RomanceNinna-wanita berumur 29 tahun penganut paham childfree-dijodohkan dengan Kais, pria asing dengan kelakuan yang eksentrik mengingat pertemuan pertama mereka yang di luar dari kata normal. Dapatkah Ninna dan Kais belajar apa arti pernikahan dengan kek...
Wattpad Original
Ada 8 bab gratis lagi