8. Percobaan bunuh diri

4K 232 12
                                    

“Sudah jelas dia memang membenciku. Satu kesalahpahaman ini bukan satu-satunya alasan dia membenciku kan?”
Pricilla Evyta Aurora.

***

Aldo sedang berjalan-jalan di sekitaran kompleks rumahnya. Ia kemudian melihat dua sosok gadis yang tidak asing di matanya, Aldo segera mendekati mereka. Saat berada di belakangnya, tiba-tiba saja gadis itu jatuh tidak sadarkan diri. Untung, dengan sigap Aldo menahan tubuh sang gadis.

Pemuda itu mendongak, menatap perempuan yang ternyata adalah Anna. Kemudian pandangan Aldo beralih ke perempuan yang berada di dalam dekapannya— yang ternyata adalah Vita—wajahnya berubah panik saat itu juga. “Dia kenapa, Ann?” tanya Aldo seraya menggendong Vita.

Anna menggeleng. Ia sendiri tidak tahu Vita kenapa. “Mungkin dia cuman capek aja, ayok bawa dia ke mobil gue,” katanya, kemudian berjalan terlebih dahulu menuju mobilnya.

Aldo mengangguk. Pemuda itu menidurkan Vita di bangku belakang, sedangkan ia dan Anna di bangku depan. Dari arah pintu rumah Tante Nency, Derta menatap cemas ke arah mereka, dan ada Nala di samping Derta yang tengah menarik tangan pemuda itu, jadilah Derta tidak bisa menghampiri mereka.

“Kita bawa Vita ke mana, Ann?” tanya Aldo, pemuda itu juga jelas mengkhawatirkan Vita. Apalagi Anna, ia selalu menoleh ke arah belakang karena mencemaskan keadaan Vita.

“Bawa dia ke rumah gue aja.”

***

Vita mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Ia mengerjap perlahan. Setelah pandangannya tidak buram, gadis itu menoleh ke arah tangannya yang digenggam erat oleh ... Aldo?
Ia sempat heran, mengapa Aldo ada bersamanya? Dan bagaimana bisa ia berada di kamar Anna? Seingatnya ia baru saja keluar dari rumah Tantenya.

“Vita? Kamu sudah sadar?” tanya Aldo, ia menatap khawatir gadis itu.

Vita mencoba mendudukkan dirinya dan Aldo dengan sigap membantu. “Gue kenapa?” tanyanya sambil menatap Aldo lekat.

“Gue gak tau, kata Anna lo cuman kecapean.”

Vita mengernyit, ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Apa karena tadi ia mengingat sesuatu, jadi kepalanya menjadi sangat pusing? Sebenarnya dirinya kenapa, kenapa selalu muncul ingatan yang tidak ia ingat sebelumnya?

“Kamu jangan buat saya khawatir lagi,” pinta Aldo lirih.

Deg!

Apa tadi kata Aldo barusan? Jantung Vita berdetak tidak karuan. Ia menatap pemuda itu lekat, mencari kebohongan di matanya. Namun, nihil. Vita tidak menemukan kebohongan di sana, yang ia lihat hanya ketulusan di mata pemuda itu. Vita menunduk, menyembunyikan rona di pipinya.

Aldo tersenyum kecil menatap Vita yang blushing. ”Cie ... baper, ya?” godanya sambil menaikkan sebelah alis.

“Apaan, sih.” Vita memalingkan wajah.

“Bilang aja kalau kamu baper,” ujarnya seraya menoel pipi Vita. Gadis itu langsung menepis tangan Aldo.
“Diem Aldo,” geram Vita.

“Baper ‘kan kamu sama ucapan saya tadi?” Aldo malah semakin gencar menggoda Vita, ia mencubit pipi gadis itu dengan gemas.

Vita yang tidak terima akhirnya mengejar Aldo yang kabur karena tidak mau gadis itu memukulnya. Mereka akhirnya kejar-kejaran di dalam kamar Anna. “Sini lo Aldo! Pipi gue sakit!” geram gadis itu.

“Bilang aja kamu blushing apa susahnya, sih?” Aldo masih gencar menggoda Vita.

Vita berhasil menarik tangan pemuda itu. Aldo yang tidak siap langsung kehilangan keseimbangan dan akhirnya mereka berdua jatuh berdua di atas kasur. Posisinya sekarang adalah Aldo berada di atas tubuh Vita.

Mendadak pintu terbuka, menampilkan sosok Derta yang menatap mereka kecewa. “Ternyata lo masih sama aja kayak dulu! Bitch!” Derta langsung berbalik meninggalkan mereka dengan segala pemikirannya.

Vita mendorong tubuh Aldo kemudian ia bergegas mengejar Derta. Tidak, Derta tidak boleh salah paham, “Bang! Tunggu!” serunya.

Derta terdiam, apa tadi Vita memanggilnya dengan sebutan Abang? Sungguh Derta rindu dengan panggilan Vita, tetapi saat ini posisinya ia sedang kecewa kepada gadis itu.

“Bang, lo salah paham,” kata Vita lirih.

Derta menatap tangan Vita yang mencekal lengannya, kapan terakhir kali mereka kontak fisik? Namun, lelaki itu segera menepis pemikirannya. “Bener kata Bunda, sekalinya bitch tetep bitch,” desis Derta kemudian menghempaskan lengan adiknya kasar.

Vita menatap Derta sendu. “Kalaupun gue gak ngelakuin kesalahan, gue akan tetap salah di mata lo, Bang!” katanya sebelum berlalu.

Vita berlari kencang keluar dari halaman rumah Anna, kemudian mencegat taksi yang lewat. Derta menatap Vita dari tempatnya berdiri. Ada perasaan bersalah di dalam hatinya setelah mengatakan itu. Tadi saja merasa cemas dengan keadaan Vita hingga akhirnya memutuskan untuk membuntuti mereka. Namun, yang ia lihat di kamar Anna malah begitu mengecewakan.

***

Vita turun di sebuah danau. Ia duduk di bangku yang ada di dekat danau tersebut. Menatap langit malam, rembulan malam bersinar menerangi. Mungkin orang lain pasti akan takut berada di sini sendirian, di danau yang sepi. Ia memejamkan mata. Kenapa begitu sulit untuk mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya? Kenapa begitu sulit untuk sekali saja ia mendapatkan kebahagiaan? Kenapa? Apa salah dirinya di masa lalu? Ia bahkan tidak mengingatnya sama sekali.

Gadis itu bangkit dari duduknya. Ia menghirup udara malam dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Tangisnya pecah ketika memori di dalam kepala memutar hal-hal yang menyakitkan. Perlahan, ia melangkahkan kakinya menuju danau. Baru saja ia akan menjatuhkan tubuhnya di sana, tetapi seseorang menahannya.

“Lepas!” pinta gadis itu, memberontak di dalam pelukan seorang lelaki. Vita tidak dapat melihat sosok itu, karena dia memeluknya begitu erat, menyembunyikan wajahnya di bahu sang gadis.
“Kenapa hidup gue kayak gini? Apa salah gue? Apa?! Jelasin ke gue apa salah gue? Semuanya kacau, bahkan gue sulit mendapatkan cinta dari keluarga gue sendiri,” gumam Vita di akhir kalimatnya seraya menghapus air mata.

Ketika Aku Menemukanmu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang