Kata "Tidak apa-apa" mengandung dua makna; memang baik-baik saja alias tidak mengapa, dan juga tidak baik-baik saja alias terluka.
-EPOCH-
Pagi ini, Dhita berangkat sekolah bersama Lukas dengan diantar oleh supir. Sedangkan Ozzie sudah dijemput oleh Nevan dengan sepeda milik Ozzie yang kemarin dibawa pulang oleh Nevan.
Di tengah perjalanan, mobil keluarga Adibrata menyalip sepeda yang dikendarai oleh Ozzie.
Lukas membuka kaca mobil. "Sendi sehat, semangat gowesnya, ya."
"Awas, ya. Gue bakal nyampe ke sekolah lebih dulu daripada mobil lo!" ucap Ozzie.
Nevan yang berada di belakang, mengernyitkan dahi. "Emang bisa? Gila lo. Sepeda lawan mobil. Ya, jelas menang mobil, lah. Jangan aneh-aneh jadi orang."
Ozzie yang masih fokus pada jalanan, terkekeh sinis. "Liat, nih."
Ozzie mempercepat kayuhan pada pedal sepeda miliknya. Mencoba mendahului mobil Dhita dan Lukas.
"Et, buset. Beneran orangnya." Lukas menggelengkan kepala.
"Ozzie ngapain, sih? Awas aja kalau jatuh lagi." Dhita bersuara.
Baru beberapa meter sepeda Ozzie menyalip mobil Dhita, tiba-tiba sepeda hilang kendali, berjalan tak tentu arah.
Nevan panik. "Woy, Zie. Yang bener. Gue gak mau mati gara-gara nabrak trotoar! Udah gue bilang, jangan aneh-aneh!"
Ozzie yang mengendalikan sepeda mencoba mengatur jalannya sepeda agar kembali normal. Akan tetapi, kakinya yang digunakan sebagai tumpuan agar menyeimbangkan sepeda mendadak kaku. Tak dapat digerakkan. Mati rasa.
"Kaki gue, Van!" ucapnya ikutan panik.
"Hah? Kaki lo kenapa?"
"Gak bisa gerak." Ozzie melirik kedua kakinya.
"Rem, buruan rem!" Nevan berusaha mengambil alih stang sepeda dari Ozzie walaupun tubuhnya tidak berada di jok depan. Mengepalkan kedua rem dan menurunkan kedua kakinya agar laju sepeda berhenti.
"Sepedanya Bang Zie oleng, Kak." Lukas menepuk-nepuk bahu Dhita, "stop, Pak. Berhentiin mobilnya," imbuh Lukas.
"Sok-sokan, sih." Dhita berdecak lalu keluar ketika supir telah menepikan mobilnya. Disusul oleh Lukas.
Berkat usaha Nevan, akhirnya laju sepeda bisa berhenti. Nevan yang gampang shock langsung terduduk di trotoar pinggir jalan. Memegangi dadanya dengan kedua tangan. "Ya, ampun. Untung jantung gue masih jedag-jedug. Gila, gila!"
Ozzie menunduk. Mengepalkan kedua tangan seraya memukul kedua kaki yang masih merasakan mati rasa. Ini kenapa mendadak kaku, sih? batinnya.
Dhita bersedekap di hadapan Ozzie. "Masih mau ngebut-ngebut naik sepeda, hah?"
Ozzie tak menjawab. Sedangkan Nevan masih sibuk mengatur napasnya yang masih tak keruan.
"Kalau jatuh lagi gimana? Luka kemarin aja masih basah, mau lo tambah lagi? Nyari sakit emang lo, ya." Dhita menatap Ozzie yang menunduk.
"Udahlah. Ayo, lanjut sekolah. Nanti keburu bel," kata Lukas mencairkan suasana.
Dhita kembali masuk ke dalam mobil tanpa berbicara apa pun lagi. Nevan menyadari Ozzie yang terdiam sedari tadi menepuk bahunya. Mengulurkan tangannya pada Ozzie. "Lo gak apa-apa, kan? Yok, berangkat lagi. Biar gue aja yang bawa sepedanya," ucap Nevan disertai senyumnya, "sana, Kas. Masuk ke mobil." Melirik Lukas, dibalas anggukan kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
EPOCH
Teen Fiction[13+] Tentang dia, yang membuat diriku mengetahui bagaimana rasanya terjun ke jurang penyesalan. Tentang dia, yang memberitahuku tentang hargailah kehadiran seseorang ke dalam kehidupanmu. Karena, jika seseorang itu telah pergi, kau akan merasa...