Sesuatu yang paling sederhana itu, bisa menjadi sesuatu yang paling mengena.
---134340-EPOCH-
Ada banyak hal yang menjadi pemenuh ruang kepala. Menyusup masuk tanpa bersuara. Melangkah gontai dengan lontaran seribu pertanyaan dan pernyataan.
Dhita mengembangkan senyuman. Berusaha ramah pada setiap orang yang bertanya ada apa dengannya. Lantas, mereka melambaikan tangan, meninggalkan. Pada dasarnya, setiap manusia akan berlaku seperti itu, bukan? Menghampiri dan menyapa ketika merasa penasaran, berlalu ketika sudah mendapat jawaban. Miris pun teriris.
Persetan dengan kepedulian. Seakan ingin mendengarkan, nyatanya mereka hanya sebatas penasaran. Menyedihkan, bukan?
Menghela napas. Melipat salah satu lengan di atas tekukkan lutut sebagai pangkuan kepala untuk tidur. Menutupi kepala menggunakan buku yang sebelumnya dia baca. Mencoba tertidur, setidaknya untuk melepaskan beban pikiran yang sedari tadi menyerang. Perpustakaan memang tempat ternyaman jika menginginkan tempat hening.
Baru saja ingin terlelap, seseorang secara tiba-tiba mengambil alih buku itu dari kepala Dhita. Meletakkan kembali pada tempatnya. Dhita mengernyit menatap sepasang sepatu di hadapannya, lalu mendongak untuk melihat siapa si pelakunya.
"Hansel?"
Hansel menatap datar wajah kakak kelasnya itu. Menunjuk ke arah pintu keluar perpustakaan menggunakan dagunya. Dhita mengikuti arah pergerakan dagu Hansel dan menemukan sosok Ozzie yang menatapnya dari luar perpustakaan.
Hansel merupakan salah satu perwakilan dari kelas sepuluh sebagai penjaga perpustakaan. Kebetulan, hari ini adalah jadwalnya berjaga. Wajar saja jika Hansel ada di sana.
"Ish, ganggu. Mau tidur juga," keluh Dhita direspons oleh Hansel dengan berdengkus.
"Ngapain, sih?" tanyanya setelah menghampiri Ozzie.
"Jam berapa ini? Mau bolos pelajaran lo, ya?" Ozzie bersedekap di hadapan Dhita. Sengaja meniru gaya Dhita tadi pagi tatkala dirinya dan Nevan hampir saja menabrak trotoar.
"Gak apa-apa, lah. Sekali-kali," balas Dhita enteng. Baru saja dirinya ingin kembali masuk ke dalam perpustakaan, Ozzie dengan sigap menarik pengelangan lengan Dhita, yang mengakibatkan Dhita hampir terjatuh jika saja Ozzie tidak menahan tubuhnya.
Kedua pasang iris itu saling pandang dengan jarak yang dekat. Saling tatap tanpa berkedip hingga beberapa detik.
Sayang, cuma bisa menatap, bukan menetap.
Hingga akhirnya keduanya tersadar oleh dehaman Hansel.
"MODUS LO, KUDA LUMPING!" Dhita mencubit gemas punggung Ozzie sampai sahabatnya itu meringis.
"Duh, Dhit. Sakit, gila!" Ozzie melepaskan cubitan Dhita dengan menepuk pelan punggung tangan yang Dhita gunakan untuk mencubit punggungnya, "YEUH! KALAU GAK GUE TOLONGIN, TUH, PANTAT LO NYIUM KERAMIK, MAU?!" Bukannya berterima kasih, Dhita malah menjulurkan lidah pada Ozzie, meledek.
"Pergi. Berisik," ucap Hansel membuat Dhita dan Ozzie bergedik ngeri.
"Hehe. Hansel ganteng banget hari ini. Maaf, ya." Dhita tersenyum lebar pada Hansel. Namun, Hansel tak mengindahkannya. Dia pun perlahan menutup rapat kembali pintu perpustakaan.
"Astaga. Untung temen adek gue lo, Hans!" gerutu Dhita dibalas tawa oleh Ozzie, "ngapain lo ketawa?!"
Ozzie memajukan bibir bawahnya. "Gak boleh emang?"
"RESE, SUMPAH!" seru Dhita. Lantas membuka sebelah sepatunya dan berniat ingin melemparnya pada Ozzie yang baru saja berlari menjauhinya.
Namun, lemparannya meleset. Sepatu tersebut malah mengenai punggung seorang guru laki-laki yang baru saja ingin berbelok menuju tangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
EPOCH
Teen Fiction[13+] Tentang dia, yang membuat diriku mengetahui bagaimana rasanya terjun ke jurang penyesalan. Tentang dia, yang memberitahuku tentang hargailah kehadiran seseorang ke dalam kehidupanmu. Karena, jika seseorang itu telah pergi, kau akan merasa...