Prolog

581 47 1
                                    

Plak...

Masih teringat bagaimana panas dan perihnya pipiku saat bunda menamparku. Tapi tak cuma aku, bunda juga pasti merasakan perih, di hatinya. Wajah bunda merah padam menahan marah. Aku cuma bisa diam dan menangis. Ayah kaget melihat bunda.

"Frasya Grizella Wibowo!" begitu ibu memanggilku saat ibu sedang marah, bukan Caca, nama kecilku.

"Jujur sama bunda, kamu udah ngapain aja sama pacar kamu itu?" dedas bunda.

Aku menggeleng. Menangis.

"Ngapain aja?!"

Aku menggeleng semakin kuat dan semakin larut dalam tangis. Aku tidak mengerti, apa hubungannya dengan Soni? Kami memang pacaran tapi hubungan kami masih dalam batas wajar, sangat wajar.

"Selama ini kamu ngapain aja Ca?! Ayah sama bunda nguliahin kamu jauh-jauh biar kamu jadi anak yang bener! Bawa ijazah yang bisa bikin ayah bunda bangga. Bukannya pulang bawa penyakit kaya gini!" bentak bunda.

Tangisku semakin menjadi. Aku menunduk. Kedua tanganku menangkup wajahku, menyembunyikan air mata yang tidak berhenti keluar. Hai air mata, berhentilah!! Teriakku pada air mata. Tapi sepertinya air mata hanya mau menyuarakan isi hatiku. Terus mengalir membasahi wajahku.

Hatiku terasa perih teriris. Karena kata-kata bunda. Karena ayah yang bahkan tidak bisa berkata apa-apa. Karena apa yang aku derita sekarang. Karena masa depanku yang entah tinggal berapa lama lagi. Karena mengingat semua yang telah dilakukan ayah bunda akan berakhir sia-sia. Karena aku mengecewakan mereka, orang tua yang telah membesarkanku, memberikan kasih sayang padaku, anak semata wayangnya.

"Bun, sudah. Caca itu butuh dukungan dari kita, bukan judgement yang tidak perlu. Bunda nggak perlu kaya gitu sama Caca," suara ayah berat, terdengar sekali kalau ayah menahan perasaannya, menahan tangisnya. Mencoba untuk terlihat kuat.

Kurasakan tangan bunda memelukku. Lalu terdengar isak tangis bunda di telingaku. Badannya bergetar. Pelukannya semakin erat. Aku tidak bisa memeluk bunda. Aku sibuk tenggelam dalam tangisku sendiri. Bukan, bukan tidak bisa. Tapi tidak tega. Kalau aku memeluk bunda, seakan aku memberi harapan baginya untuk lebih menyayangiku lagi.

Berhenti memberiku kasih sayang yang sia-sia bunda! Anakmu ini akan segera mati! Aku tidak mau kasih sayangmu terbuang sia-sia untuk anak durhaka ini.

"Maafin bunda ya Dek," ujar ibu dalam dalam isaknya.

Lagi-lagi aku cuma menggeleng. Jangan minta maaf Bun, bunda nggak salah. Aku yang salah. Teriakku dalam hati. Tapi entah, kata-kata itu menguap kemana.

***

Future (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang