Tandai typo ya
Frasya's POV
"Katanya nggak mau ikutan, kok malah dapet bouquet toss sih?" untuk kesekian kalinya Ajeng memprotesku. Tangannya bersedekap dan menatapku dengan sebal. Dia masih tidak terima karena aku menangkap bouquet toss, tanpa sengaja. Padahal dia yang kebelet kawin.
"Mungkin aku yang bakal cepet kawin," godaku sambil sesekali menghirup wangi buket bunga yang terbuat dari mawar merah, lengkap dengan kuncup mawar yang kecil-kecil.
Tapi memangnya salahku kalau Sea melempar buket bunganya ke arahku yang memang posisinya tidak terduga. Para wanita lajang berkumpul persis di belakang panggung pelaminan, sedangkan aku agak jauh dari kerumunan, tepatnya di sebelah kiri pelaminan. Tapi buket bunganya malah terlempar ke arahku. Harusnya yang salah Sea kan? Karena aku cuma menangkap saja. Dan bunganya ternyata sangat cantik.
"Cari pacar dulu baru kawin. Main kawin aja," gerutu Ajeng. Aku tergelak.
"Emang kawin harus pacaran dulu? Lagian ya, nggak usah dengerin mitos apalah ini. Kalo kamu mau cepet kawin, bilang sama pacarmu dong," kataku.
"Nggak usah minta juga dikawinin tiap hari," sahut Bono, pacar Ajeng yang tiba-tiba muncul dan tanpa canggung langsung melingkarkan tangannya di pinggang Ajeng.
"Ish... ngomong apaan sih?" Ajeng memerah malu. Aku pun menggoda Ajeng dengan menaikturunkan alisku.
"Nikah Bang, nikah... Bukan kawin," kata Ajeng memperjelas kalimat pacarnya yang sudah terlanjur ambigu.
Tapi sepertinya Bono tidak mendengarkan Ajeng dan malah membisikkan sesuatu di telinga Ajeng yang membuat wanita itu menunduk malu dan wajahnya semakin bersemu merah.
Sweet banget sih mereka. Gemes. Jadi pengen.
Ups, no Caca. Tarik lagi pikiran itu. Yang seperti itu sudah dihapus dari kamus hidupmu.
Aku menarik diri dari keduanya dan berjalan menjauh. Mencoba mengalihkan pikiranku dari hal-hal yang berbau romantis dan cengeng. Aku memandang buket bunga di tanganku. Apa aku buang saja buket bunga ini? Mengingatkanku pada hal-hal yang ingin aku lupakan.
Aku menggeleng pelan dan bergidik.
Tiba-tiba sebuah jas tersampir di bahuku, "Pakai, biar nggak dingin."
Aku menoleh dan mendapati Adnan ada di sampingku yang menyampirkan jasnya. Sekarang dia hanya memakai kemeja hitamnya.
"Kamu ini kenapa pake baju kaya gini sih? Ini kan pesta outdoor," protes Adnan. Orang ini kenapa sih? Tiba-tiba datang dan mengomel?
"Saya nggak tahu kalo ini pesta outdoor chef," jawabku. Aku memang tidak tahu. Aku kira pestanya indoor karena tempatnya ada di hotel. Tadi aku sempat berpikir salah kostum karena acaranya outdoor dan bajuku off shoulder dengan setengah punggungnya terbuka. Tapi akhirnya cuek dan tetap menikmati suasana malam pernikahan yang indah.
"Chef, nggak usah repot-repot jasnya. Saya gapapa," kataku sambil melepaskan jas Adnan dari bahuku.
"Don't," Adnan menahanku, dia bahkan kembali menyampirkan jasnya di bahuku.
"Dingin," katanya lagi sambil menatapku dan merapatkan kedua sisinya. Aku rasa sekarang wajahku sama merahnya seperti wajah Adnan. Sekarang aku benar-benar menyesal karena salah kostum. Karena aku mendapat perhatian yang menurutku tidak perlu dari seseorang yang tidak seharusnya. Apalagi saat ini seharusnya aku melupakan hal-hal yang berbau romantis.
Leherku meremang, pasti karena angin malam yang berhembus pelan. Bukan karena mata hitam Adnan yang masih belum melepas tatapannya. Aku segera memalingkan wajahku dari Adnan, mencoba tidak mengindahkan tatapannya yang intens. Kali ini leherku baik-baik saja. Ganti jantungku yang tidak baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Future (?)
RomanceFrasya divonis penyakit yang bisa merenggut masa depannya. Apakah dia mampu meraih cita dan cintanya di saat berlomba dengan waktu dan rasa sakit?