14. Meyka

5.6K 732 25
                                    

Happy Reading and Enjoy

Aku baru saja bertemu dengan dokter Harris -dokter yang menangani penyakit kanker papa- untuk membicarakan hasil perkembangan selama papa dirawat disini. Aku tau, pilihannya hanya bertahan terus menerus dengan serangkaian pengobatan yang sangat menguras tenaga maupun pikiran. Papa yang terus menerus merasa kesakitan, dan aku yang tidak tega melihat Papa yang terus terusan seperti itu. Atau.... Aku dan Gustian harus menyerah karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain berdoa mengingat bagaimana penyakit mematikan itu sudah menyebar ke jantung dan hati.

Aku terduduk lesu diatas kursi besi yang biasa digunakan para pengunjung pasien atau keluarga pasien yang ingin duduk sebentar diluar ruang rawat.

Banyak hal yang ku sesali dalam hidupku. Termasuk bagaimana Papa bisa sampai ketitik ini. Sejak Mama meninggal, aku dan Gustian kurang kasih sayang hingga aku sibuk dengan pekerjaan dan Gustian yang memilih banyak kegiatan disekolahnya. Hingga Papa yang kehilanganpun mulai berubah seperti sekarang.

Tidak ada yang bisa disalahkan, pun dengan keadaan.

Papa dulu adalah seorang perokok pasif, dan entah sejak kapan, papa mulai bergantung pada batangan penuh nikotin itu. Kalau Papa pulang dengan keadaan mabuk, baik aku maupun Gustian memilih untuk tidak keluar kamar sama sekali, sekalipun aku mendengar bagaimana papa terbatuk-batuk hingga terdengar menyakitkan.

Kalau saja.... Kalau saja waktu itu aku datang, memeluk beliau dan menanyakan keadaan beliau, apakah semuanya akan bisa ditangani lebih awal?

Aku menunduk dan mengangis tanpa suara, aku hanya bisa berharap tidak ada seorangpun yang menyadari kalau aku sedang menangis.

Tuhan.....

***

"Papa," aku menyapa papa yang sedang menatap kearah luar jendela, suster Winda yang ku bayar secara pribadi untuk menemani papa langsung pamit keluar. Beliau menoleh dan menatapku sendu.

"Gus....tian mana?" suara papa terdengar pelan dan berat. Bahkan untuk berbicara saja papa sudah kesusahan. Aku ingin menangis, tapi aku tidak mungkin menangis didepan Papa.

"Gustian katanya udah dijalan, sebentar lagi sampai. Papa kangen sama Tian ya?" Aku tersenyum kecil menggoda Papa.

Papa tersenyum kecil kearahku. Papa yang selama ini terlihat sangar dan menyeramkan kini sudah menghilang. Kalau boleh memilih aku ingin Papa yang galak tapi tetap sehat, tidak seperti ini.

Papa dulu adalah orang yang ramah, pekerja keras dan sangat mencintai Mama. Aku dan Gustian tidak pernah mendapatkan perlakuan keras, sama sekali.

"Gi.. mana pekerjaan kamu?" Papa bertanya dan aku tersenyum kecil. Ini adalah masa-masa yang ku impikan selama ini, kembali mendapatkan Papa yang perhatian padaku, walaupun papa harus sakit terlebih dahulu.

"Baik, Pa." Aku menceritakan secara singkat bagaimana pakerjaanku, bagaimana aku mendapatkan teman-teman yang baik, yang sulit kudapatkan ditempat lain.

"Kak." Gustian melongokkan kepalanya dicela pintu, dia masuk dan menaruh kantong plastik diatas meja disamping ranjang rumah sakit Papa.

"Pa," Gustian menyapa Papa dengan kaku sebelum duduk disofa kecil yang tidak jauh dari ranjang yang papa tempati.

"Kamu bawa apa, Yan?" aku membuka kantong plastik yang Gustian bawa, dan ternyata isinya nasi bungkus, "Kamu udah makan?"

"Udah tadi, itu buat kakak," aku mengangguk.

"Makan dulu ya, Pa" Papa mengangguk, aku beranjak dan menyenggol Gustian, berbisik kearahnya untuk duduk ditempatku duduk tadi, mungkin mereka bisa sedikit mengobrol walaupun aku yakin, hanya akan ada kata-kata singkat yang keluar dari bibir Gustian.

Dia tetap menurut walaupun menggerutu.

Aku makan dalam diam sembari mendengarkan Papa yang berbicara terbata-bata pada Gustian. Papa bertanya bagaimana kuliah Gustian, bagaimana kondisi kampus Gustian dan hanya di jawab singkat oleh Gustian. Aku mengerti bagaimana Gustian masih menjaga jarak pada Papa, karena dia yang selalu menjadi tameng ketika Papa marah tidak ku beri uang untuk judi atau membeli minuman keras.

Aku tidak tega melihat Papa memukuli Gustian, tapi juga tidak berdaya untuk mencegah Papa untuk berhenti menyiksa kami.

"Mey, udah selesai?" aku menatap Papa sebentar sebelum mengangguk.

"Bentar, Pa. Mau buang sampah dulu," aku keluar dan membuang sampah bekas makanku tadi dan kembali masuk, duduk disamping Papa.

Aku menyentuh pergelangan tangan Papa, tangan yang sudah tidak lagi kokoh, bahkan kini sudah keriput karena penurunan berat badan yang cukup drastis.

"Pa...pa minta maaf," suara papa terdengar pelan dan sedikit tercekat. Aku menggeleng meminta beliau untuk berhenti berbicara. "Seharusnya kalian membiarkan Papa mati begitu saja tanpa perlu repot-repot merawat Papa dirumah sakit seperti ini." Papa mereteskan air mata yang langsung aku hapus dengan selembar tissue.

"Pa, Mey sama Tian itu anak Papa, udah jadi kewajiban kami buat ngerawat Papa bagaimanapun keadaan Papa," aku berbisik pelan pada beliau yang tidak mau berhenti menangis.

Papa dengan nafas terengah kembali membuka mulut, kemudian bibirnya kembali terkatup, "Papa..... Papa sudah tau lama kalau Papa sakit, jauh sebelum Mama kalian meninggal." Aku terkejut mendengar informasi tersebut, begitu juga dengan Gustian yang sejak tadi hanya diam.

"Kenapa Papa nggak bilang, Pa? kalau sudah begini, Papa jadi kesakitan sendiri kan," aku rasanya ingin menangis kalau sudah seperti ini.

"Papa nggak mau ngerepotin kalian, kamu apalagi. Makanya Papa sering mukul kamu atau Gustian, supaya kalian benci Papa dan biarin Papa mati dijalanan." Air mataku yang sejak tadi sudah berkumpul dipelupuk mata akhirnya tumpah, aku memeluk Papa.

"Papa minta maaf, Yan, Mey... Papa minta maaf"

------

Sorry banget, harusnya up kemarin, tapi karena ketiduran jadi nggal bisa up.

Ku ganti hari ini ya.

Semoga kalian suka part ini.

With Love,
Bella

Hidden AgendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang