28. Tian

5.6K 784 22
                                    

Happy Reading and Enjoy

Aku tau, seharusnya aku tidak berbohong pada mama hingga menyeret Meyka dalam drama recehan yang ku buat sendiri. Aku kira drama-drama seperti ini hanya ada di novel yang sering Clara ceritakan dengan dramatisnya. Ternyata tidak.

Meyka menatap keluar jendela saat kami terjebak macet untuk menuju kerumahku, beberapa kali phonselku bergetar karena ada pesan yang masuk, dan beberapa kali itu juga mama menanyakan aku sudah dimana.

Sebut aku brengsek karena sudah menjebak Meyka dengan uang 300 juta itu, padahal sejak awal, aku yang 'menawarkan bantuan' tanpa dia minta. Tapi, aku tidak memaksa, tentu saja. Meyka bisa memilih, dia akan tetap bertahan pada sandiwara ini akau tidak.

Sekitar 15 menit, akhirnya kami bisa lolos dari kemacetan yang menyiksa. Ku lirik tangan Meyka yang saling meremas diatas pangkuannya. Entah dia sedang menahan gugup atau menahan marah.

Security rumah membukakan pintu, aku menahan Meyka untuk tidak turun terlebih dahulu, "pakai aku-kamu, jangan lo-gue" dia menatapku sejenak sebelum mengangguk dan akhirnya turun. Aku bersyukur, setidaknya kali ini Meyka mau diajak bekerja sama. Setidaknya aku bisa mengulur waktu sampai aku siap untuk berbicara kebenarannya dengan Mama, kalaupun dia tidak mau membantuku.

"Ma...." Panggilku, aku melihat mama keluar dari arah dapur, senyum beliau terlihat lebar saat melihat siapa yang ada dibelakangku.

"Kalian udah pulang, habis lembur, Mey?" ku menoleh kearah Meyka yang tersenyum canggung.

"Iya, tan. Banyak kerjaan" katanya. Meyka bergerak menyalami mama, dan langsung disambut senyum mama yang semakin lebar.

"Ya udah.... Ayo makan dulu, kalian pasti lapar" ajak Mama.

Mama tampak kesulitan saat memutar kursi rodanya, aku hendak membantu mama. Tapi Meyka malah bergerak terlebih dahulu, membantu mama untuk menuju ke meja makan.

"Makasih, sayang" aku menahan nafas.

Seketika aku tau, Mama sudah menyukai Meyka, dan kami tidak akan bisa lepas begitu saja.

***

"Bawa aja, Mey. Nggak papa, kata Tian kamu punya adik" aku menatap Meyka dan mama yang masih berdebat. Mama memaksa Meyka untuk membawa makanan masakan bibi, tapi Meyka menolak.

"Udah, Mey. Bawa aja. Mama nggak akan nyerah sebelum kamu terima itu makanan" ujarku. Meyka menatapku sebal dan akhirnya menerima makanan yang mama berikan. Itu bukan sisa, sepertinya mama sengaja menyiapkan ini semua.

Meyka akhirnya menyerah dan mengangguk, "makasih, tante." Untung saja mama tidak memaksa Meyka memanggil beliau mama juga.

Masuk di mobil, aku kira Meyka akan meroceh dan memarahiku karena telah menjebaknya sejauh ini, tapi Meyka malah diam dengan pandangan menerawang kedepan sana.

"Kangen, mama" katanya lirih.

Yang aku tau, mama Meyka sudah meninggal sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu, dan disusul papa Meyka beberapa waktu lalu. Aku cukup mengerti bagaimana perasaannya. Aku juga kerap merasakan hal yang sama ketika melihat bagaimana seorang anak dekat dengan ayahnya. Aku juga kadang merindukan papa. Hal yang sudah sewajarnya terjadi.

"Mau berhenti dulu?" tawarku. Aku sudah siap memberhentikan mobil ditepi jalanan yang cukup lengang, tapi dia menggeleng.

"Nggak papa. Kadang gue bisa sensitif gini kalau keinget mendiang Mama" dia mengusut sudut matanya, sementara aku tidak melakukan apapun.

"Kenapa gue?" aku menoleh kearahnya sekilas, aku bingung dengan pertanyaannya, "maksud gue, kenapa nama gue yang lo sebut didepan nyokap lo? Apa ini semata-mata karena gue punya hutang sama lo,? Dan pada akhirnya gue mau nggak mau harus nurut sama lo?" aku terdiam sebentar, menepikan mobil dan menatapnya lekat.

"Gue tau gue brengsek karena ngomong kaya gitu tadi siang. Gue sama sekali nggak maksa lo buat setuju, Mey. Lo bisa milih, kalau lo nggak mau bantu gue, gue bisa ngomong baik-baik ke nyokap gue" aku menghela nafas panjang, "karena gue tau ini berat, Mey. Jadi gue sama sekali nggak maksa lo"

***

"Mama suka sama Meyka, kalian kenapa sih nggak pacaran dari dulu aja? Kan kamu jadi cepet nikah" lagi, mama menyambutku dengan kalimat yang ada nikah-nikahnya.

"Namanya juga jodoh, kesana kemari dulu, baru sadar kalau yang dicari dideket kita, kan Mama sama Papa juga gitu dulu" jawabku seraya menyelimuti mama. Saat aku pulang tadi, beliau menungguku, padahal sudah seharusnya mama tidur.

"Iya yah.... Jadi, kapan kalian mau...."

"Sabar, Ma. Aku sama Meyka aja baru jadian. Sabar okey? Mama juga jangan gencar-gencar banget dong, entar dia'nya kabur, risih karena mama agresif banget" candaku. Mama tertawa kecil dan mengangguk.

"Oke, tapi sering-sering ajak kemari ya, bang...." Aku tau mama menggodaku karena mendengar sebutan Meyka untukku.

"Iya, mama tidur ya. Tian mau naik dulu"

Aku keluar dari kamar mama dengan perasaan yang luar biasa lega. Mama sempat terlihat murung setelah tau Nita melarikan diri untuk melanjutkan study'nya tanpa pamit dan sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan keluargaku juga keluarganya sendiri.

Aku mengambil phonselku yang sejak tadi berada disaku celana pendek yang ku gunakan, mencari kontak Meyka dan mengirimkan pesan untuk kekasih "palsu"ku itu.

Thanks, Mey.

Sorry kalau bikin lo nggak nyaman.

-------

Part ini agak sedikit ya.
Tapi aku harap bisa mengobati sedikit rasa penasaran kalian.

Semoga kalian suka part ini.

With Love,
Bella

Hidden AgendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang