Dan hari ini, keluarganya Mira dan Keluarga Sanjaya udah kumpul manjah di restaurant yang di booking Keluarga Sanjaya. Dari tadi, Mira sama Gibran sibuk nyari cara biar perjodohannya gak dilaksanain.
Masa temen orok di suruh nikah. Bisa kacau dunia, apalagi modelannya kayak Mira sama Gibran. Anak-anak liar yang disuruh jadi satu.
"Bisa kita mulai?" tanya Sanjaya—ayah Gibran.
"Bisa," jawab Regina. Dia yang paling semangat sama perjodohannya.
"Jadi begini, kita mengajak kalian ke sini dengan maksud untuk menjodohkan anak kedua kami dengan anak kedua Bu Regina," jelas Sanjaya. "Sebelumnya, saya meminta persetujuan dari anak-anaknya dulu. Apakah keberatan?"
"Iya," jawab Mira dan Gibran barengan.
"Bisa kasih alasan yang jelas? Kenapa kalian keberatan?" Sanjaya menatap kedua anak remaja itu dengan tatapan membingungkan. Mereka kompak sekali menjawabnya.
"Karena kita gak bisa, Om." Mira melirik ke arah Regina sekilas. Bundanya sudah memasang raut wajah yang tidak mengenakan. "Saya maupun Gibran tidak bisa menerima perjodohan ini."
"Tapi, apa alasannya?"
"Kita temenan dan kita gak ada niatan buat bersama. Lagian, saya maupun Gibran sudah saling memiliki kekasih."
"Tinggal putusin, kenapa harus menolak?" tanya Regina. "Bukankah lebih bagus kalau misalkan teman kecil bisa bersama selamanya?"
"Tante, saya punya kekasih yang saya cintai dengan tulus. Kalau saya nanti menikah dengan Mira, kehidupan keluarga kami gak akan harmonis tanpa adanya cinta," jelas Gibran.
"Cinta 'kan bisa tumbuh kalo selalu bersama," desak Regina.
Citra—bunda Gibran—menatap anaknya sambil tersenyum, lalu menatap suaminya seolah berkata. "Lanjut nanti aja, udah gak memungkinkan buat dibicarain."
"Saya rasa, perjodohan ini harus ditunda dulu. Apalagi, hari sudah semakin larut. Bu Regina, terima kasih untuk hari ini. Kita akan bertemu lagi saat semuanya sudah siap," kata Sanjaya.
🥀🥀🥀
Plakkk
"Bunda udah bilang sama kamu buat nerima perjodohan ini. Kenapa masih kamu tolak?!" bentak Regina.
Mereka baru saja tiba di rumah dan Regina langsung menampar wajah Mira. Ia membentaknya tanpa ampun.
"Sekali aja, turutin kemauan bunda," kata Regina. "Jangan jadi anak pembangkang."
Mira mau mengeluarkan kalimat dari mulutnya. Namun, harus tertahan karena pipinya kembali ditampar oleh Regina.
Plakkk
"APA?! KAMU MAU BILANG APA?! MAU BANTAH BUNDA?!" teriak Regina. "Dasar anak gak tau diuntung."
Mira menatap Regina dengan mata yang sudah banjir air mata. "Besok, aku kembali ke Bunda Widya," kata Mira sebelum pergi ke kamarnya.
Dia menangis sejadi-jadinya. Apakah dia memang benar bukan anak kandung keluarga ini sehingga Regina selalu memarahinya? Apakah dia hanya anak yang diambil dari panti asuhan?
Mira mengambil cutter dari laci di dekat kasurnya. Membawa benda tajam itu ke kamar mandi. Ia menyalakan shower dan air shower yang dingin tersebut langsung membasahi tubuhnya.
Ia menggoreskan cutter tersebut pada lengan kirinya. Membuat beberapa sayatan yang tak beraturan. Bau anyir dari darah segar yang keluar membuat Mira tersenyum.
Perempuan itu juga melakukan hal yang sama pada lengan kanannya. "Sial."
"Anak sial."
"Lo harusnya mati," gumam Mira.
"Anak gak berguna."
"Bodoh."
"Tolol."
"Pecundang."
"Idiot."
Mira membiarkan semua sayatan tersebut terbuka dan terkena air shower. Ia meringis sedikit saat sayatan tersebut terkena pinggiran bathtub.
Saat bathtub terisi penuh, Mira menenggelamkan sedikit tubuhnya di sana. Matanya terpejam. Mungkin, untuk malam ini dia bisa tidur nyenyak di bathtub.
Ia menampilkan senyumnya yang terlihat menyakitkan. "Selamat malam buat diri sendiri. Inget, besok kamu masih harus hidup."
🥀🥀🥀

KAMU SEDANG MEMBACA
amour
Teen Fiction"Bun, aku juga mau di bangga-banggin di depan teman-teman Bunda. Bukan di bandingin sama anaknya teman Bunda." ☆ amour - aikasalsabilaa, 2020