Arga menggengam tangan kiri Mira. Ia menampilkan senyumnya. "Ra, mau beli eskrim sekarang?" tanya Arga.
Mira mengangguk antusias. "IYAAAA!"
"Oke oke."
Mereka berjalan menuju salah satu penjual eskrim, banyak anak kecil yang sedang membeli eskrim di situ. Mira terkekeh saat ada anak perempuan menabraknya. Anak perempuan itu tersenyum, menampilkan beberapa giginya baru tumbuh.
Begitu mereka mendapatkan eskrim masing-masing, mereka duduk di salah satu bangku taman dekat lapangan. Kedua iris coklat Mira menatap seorang anak perempuan dengan ibunya yang sedang bermain.
"Gue mau banget kayak anak kecil itu," kata Mira. "Main bareng ibunya, ketawa bareng, bahkan ibunya terus-terusan mengecup pipi anaknya."
"Coba bunda baik ke gue, selalu senyum dan selalu ngedukung gue dengan nilai gue yang segitu. Gue sebagai anak perempuan mau banget bisa deket sama bunda. Ngobrol-ngobrol tentang kegiatan sehari-hari atau cuma sekedar curhat masalah cowok."
"Anak mana sih yang gak mau disayang dan dicintai sama bundanya. Pasti semuanya mau, termasuk gue. Gue juga mau bunda bersikap layaknya bunda pada umumnya. Gue mau kayak Kak Stevia yang selalu di manja sama bunda."
"Bahkan, Kak Stevia selalu dapet apa yang dia mau. Kasih sayang ayah, bunda, keluarga besar, dan bahkan semua sahabat gue."
"Cuma di SMA ini, gue bisa punya sahabat yang sayang tulus sama gue. Gue juga bisa kenal sama lo, bisa dapet perhatian yang selama ini gue idam-idamkan."
"Dan gue bersyukur karena kalian semua hadir di hidup gue. Lo, Gibran, Chandra, Athilla, sama Flavia. Bareng kalian, gue bisa ketawa. Bisa ngerasain kebahagian. Walaupun kadang gue masih sedih, tapi kalian selalu dukung gue. Selalu ada buat gue."
Arga memeluk perempuan di sampingnya. Membiarkan seragamnya basah karena air mata Mira. "Gue mau bahagia juga sama keluarga gue, Ga."
Laki-laki itu mengusap rambut mantan kekasihnya. "Jangan nangis, Ra. Sayang air mata lo kalau cuma nangisin orang yang gak pernah sedikitpun peduli sama lo."
Mira melepaskan pelukannya. Ia tersenyum. "Makasih, Ga. Semoga lo bahagia ya. Jangan sedih-sedih kayak gue gini. Kalau nanti tiba-tiba gue pergi, lo harus kuatin sahabat lo yang lain ya."
"Dan kalau gue pergi, tolong jagain bunda gue. Gue gak mau dia kenapa-napa. Tolong bilangin juga ke bunda, sayangin Kak Stevia dengan tulus. Selalu dukung kemauan dia yang dipilih, jangan dikekang."
"Ra, lo gak akan kemana-mana. Lo bakalan selalu ada di sini. Bareng gue, bareng yang lain. Kita semua bakalan selalu ada buat lo. Jangan pergi, lo kuat, Ra."
Mira tersenyum. "Anterin gue pulang ya. Hari ini ayah sama Kak Stevia pulang."
"Jangan nangis dulu," kata Arga.
"Iya." Jemari Mira mengusap kedua pipinya yang ada bekas air matanya. "Ayo pulang."
🥀🥀🥀
"Bun," panggil Mira pada Regina yang sudah bersiap akan pergi ke bandara.
"Cepetan, mau ikut gak?" tanya Regina ketus.
Mira segera menuju kamarnya, mengganti pakaiannya. Tak lupa ia mencuci mukanya agar terlihat lebih fresh. Setelahnya, dia kembali menghampiri Regina.
Mereka menuju ke bandara. Hanya Regina yang exited sama kehadiran kedua orang tersebut. Mira juga exited, cuma dia sadar kalau kedua orang tersebut tidak akan menyukainya.
"Bundaaaaaaaa." Suara perempuan yang berjarak tak jauh dari mereka membuat Regina tersenyum bahagia.
"Steviaaaaaa." Regina segera memeluk Stevia erat. "Ih makin cantik anak bunda."
"Suaminya gak dikangenin?" tanya Bram sambil sok ngambek.
"Kangen kok." Regina memeluk suaminya. "Gendutan."
"Mira mana?" tanya Stevia. "Kok aku gak liat dia sih."
"Tadi sih ada, cuma bunda gak tau dia ke mana. Biasalah, anaknya suka keluyuran gak jelas," kata Regina. "Ayo kita pulang aja."
"Mira nya?"
"Nanti juga dia pulang sendiri."
Mereka bertiga pulang. Ya, pulang tanpa memberitahukannya kepada Mira. Regina membiarkan Mira sendirian di bandara. Perempuan itu berhati iblis.
Mira meneliti seluruh penjuru bandara. Namun, matanya tak dapat melihat ketiga orang yang dicarinya. Ia mengambil ponselnya, mengetikkan beberapa pesan ke Regina dan saat di telepon, nomornya mati.
"Mira?" Suara seseorang yang terdengar familiar di telinga Mira, membuat perempuan itu menolehkan kepalanya ke arah sumber suara.
"Iya? Siapa ya?" tanya Mira.
"Gue Alexa, temen kerja paruh waktu lo pas lo awal masuk SMA," jawab perempuan bernama Alexa tersebut.
"Ale-ale?" tanya Mira memastikan. "Seriusan lo? Le, makin cantik dong. Gimana study lo?"
"Baik kok, lo ngapain di bandara, Ra?"
"Hem, gue tadi bareng bunda gue buat jemput ayah sama Kak Stevia. Cuma, gue kehilangan mereka. Dari tadi di cari, tapi gak ketemu."
Alexa menyeringit bingung. Dia barusan bertemu dengan Regina yang sedang ke pintu keluar bersama Bram dan Stevia. Alexa menundukan kepalanya. "Iblis," gumamnya.
"Mau ngobrol bareng gue gak? Ke cafe gue nih," ajak Alexa. "Soal Tante Regina, ntar gue kasih alesan deh pas nganter lo balik. Gimana?"
Mira menatap Alexa. "Gue takut, Le."
Alexa tersenyum tipis. "Ada gue. Ngapain takut?"
"Hem, ya udah."
🥀🥀🥀
KAMU SEDANG MEMBACA
amour
Teen Fiction"Bun, aku juga mau di bangga-banggin di depan teman-teman Bunda. Bukan di bandingin sama anaknya teman Bunda." ☆ amour - aikasalsabilaa, 2020