Saat Mira pulang, perempuan itu tidak mendapatkan pelukan hangat atau kecupan singkat dari Regina. Ia justru mendapat cibiran.
"Ngapain sakit segala? Ngerepotin aja, " kata Regina. "Besok ayah sama kakak kamu pulang ke Indonesia lagi."
Mira mengangguk. "Iya, Bun."
Ayah Mira—Bram—dan kakak perempuannya—Stevia—tinggal di luar negeri karena kakaknya itu mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Bram juga ke luar negeri karena ia mengurus cabang perusahaannya di sana.
Stevia lahir dengan segala pujian dari keluarga Regina maupun Bram. Bahkan, ia tumbuh sebagai anak yang cerdas dan berbakat. Berbagai cabang olahraga, seni, dan akademi sudah ia ikuti perlombaannya. Dan dia selalu menjadi juara 3 besar.
Berbeda dengan Mira yang sama sekali tidak pernah dilirik oleh keluarga Regina maupun Bram. Dia selalu di anak tirikan oleh keluarga tersebut. Bahkan, semua pencapaiannya selama ini tidak pernah dihargai. Semuanya selalu kurang di mata mereka.
"MIRA!" teriak Regina. Suaranya berasal dari arah ruang tamu.
Mira segera berlari menghampiri bundanya. "Kenapa, Bun?"
"Ngapain kamu masih chatan sama Arga? Kan Bunda udah bilang supaya putus sama dia terus jauh-jauh deh dari dia," kata Regina.
"Tapi kenapa? Cuma gara-gara nilai aku belum seratus?" tanya Mira. "Bun, aku udah berusaha."
"Blokir semua kontak Arga atau kamu gak boleh pulang ke rumah," kata Regina.
"Bun," gumam Mira.
"Bunda blokir semua," kata Regina sambil membuka semua akun media sosial Mira. Ia memblokir semua kontak Arga.
Di Instagram, Facebook, Twitter, Line, WhatsApp, bahkan sampai ke Snapchat.
Mira menatap ponselnya yang berada di tangan Regina. "Bun, kenapa sih?"
"Kamu masih nanya kenapa? Ini semua biar kamu fokus sama sekolah," kata Regina. "Tahun ini kamu mau lulus, harus nyari univ yang bagus. Kalau bisa ke luar negeri juga kayak kakak kamu."
"Kalo aku gak mampu?" tanya Mira.
"HARUS MAMPU POKOKNYA!"
Mira menutup matanya. Dia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. "Ponsel aku, Bun."
Dia mengambil ponselnya dan langsung berladi ke kamarnya. Mira menutup pintu dengan rapat. "Kenapa? Kenapa? Kenapa?"
Mira menangis untuk kesekian kalinya. "Kenapa Bunda selalu nyuruh aku buat jadi kayak kakak?"
"Ini aku loh, Mira. Bukan Stevia yang sempurna." Mira menjambak rambutnya. "Ini Mira. Mira."
"Kapan sih kalian semua sadar kalo ada aku di keluarga kalian semua? Kapan aku bakal dianggap? Kapan aku bisa selalu diperhatiin kayak Kak Stevia?"
Ponsel Mira berdering. Nama Gibran muncul di layar ponselnya.
"Halo, kenapa?"
"Ra, kok kontak gue di blokir?"
Mira menghela nafasnya. "Bunda yang blokir."
"Ra, seriusan sih? Kan udah gak pacaran. Kenapa diblokir?" Suara Arga terdengar kesal dan kecewa.
"Gak tau."
"Ra, Gibran mau ngomong."
"Mira, kita gak jadi dijodohin."
"Hm, bagus deh."
"Lo kenapa? Sakit lagi?"
"Gapapa, cuma masih pusing dikit."
"Oh ya, lusa pada mau pergi. Ikut kagak?"
"Gak dibolehin sama Bunda."
"Ntar gue yang izin deh. Doain boleh."
"Ok."
"Tidur, Ra kata Arga. Besok lo ke sekolah 'kan?"
"Iya."
"Tidur sana."
"Masih sore. Gue harus ngerjain tugas dulu. Dah ya."
Sambungan telepon terputus sepihak oleh Mira. Ia melempar ponselnya ke atas kasur. Dia berjalan ke meja belajarnya. Tugas, tugas, dan tugas.
Mira mengerjakan semua tugasnya. Mulai dari tugas matematika wajib, peminatan, fisika, dan kimia. Semuanya mendapatkan tugas yang tidak sedikit. Jadi, dia harus begadang untuk mengerjakan semua tugas.
Belum lagi, semuanya harus benar agar dia mendapatkan nilai sempurna keinginan Regina. 100.
"hopefully I can get your attention, mom," gumam Mira.
🥀🥀🥀
KAMU SEDANG MEMBACA
amour
Teen Fiction"Bun, aku juga mau di bangga-banggin di depan teman-teman Bunda. Bukan di bandingin sama anaknya teman Bunda." ☆ amour - aikasalsabilaa, 2020