- O1💫

421 22 1
                                    

"Bunda harus bilang berapa kali lagi biar nilai kamu lebih tinggi dari anaknya Bu Sari?" tanya wanita yang berusia sekitar 40 tahunan tersebut.

"Kerjaan kamu cuma pacaran terus sama Arga. Tugas gak dikerjain, ulangan nilainya gak dapet seratus, dan kamu kena skors."

"Bunda malu punya anak kayak kamu!"

Mira Deondara—perempuan itu hanya bisa menunduk. Membiarkan bundanya mengeluarkan semua kekesalannya. Dia sudah terbisa dengan semuanya.

"Putusin Arga," kata Regina—bunda Mira.

"T—tapi bun," kata Mira. Dia menggantungkan kalimatnya dan akhirnya, dia hanya bisa pasrah. "Oke."

"Kalo Bunda mau aku putus, bakal aku lakuin. Tapi, aku mau Bunda turutin satu permintaan aku."

"Apa permintaan kamu?"

"Jangan pernah bandingin aku sama orang lain. Aku udah berusaha semampuku, kalo itu belum memuaskan Bunda, maaf. Aku udah gak bisa berbuat lebih, kemampuanku cuma sebatas itu," kata Mira.

"Dan kalo bunda malu punya anak kayak aku, Bunda bisa tinggalin aku di panti asuhan lagi."

🥀🥀🥀

Mira menatap laki-laki di hadapannya. Itu kekasihnya yang sudah menjalin hubungan dengannya selama 1 tahun terakhir. Namanya Arga Veronata.

"Kenapa, Ra?" tanya Arga sambil meminum americano coffe miliknya. "Tumben ngajak ketemuan malem-malem."

"Ga, kita putus ya," kata Mira.

Raut wajah Arga berubah. Dia terkejut. "Kenapa? Gue ada salah?"

"Bunda nyuruh kita putus." Mira menyandarkan punggungnya pada kursi. "Maaf."

"Tante Regina kenapa lagi? Kenapa hubungan kita lagi yang kena?" tanya Arga. "Ini udah kelima kalinya, Ra."

"Masalah nilai dan skors." Ia tersenyum. Senyum terpaksa. "Gue mau putus aja, Ga. Gue capek kalo misalkan Bunda udah marah-marah kayak gitu dan bawa-bawa lo."

"Tapi 'kan, Ra. Kita baik-baik aja. Bukannya nilai lo naik?" Arga menatap kekasihnya—ralat—mantan kekasihnya dengan tatapan bingung. "Dan masalah skors karena emang sekelas di skors?"

"Nilai gue masih sembilan delapan." Mira males banget bahas nilai. Untuknya, itu nilai sempurna! Tapi, bagi Bundanya, itu belum sempurna.

Arga hanya bisa tersenyum miris. "Ya udah. Kita putus nih?"

"Hm, mau gimana lagi?"

"Sahabatan aja deh. Sabahat rasa pacar," kata Arga.

"Jadi, nanti alesannya udah beda nih? Bukan pacar lagi, tapi sahabat?" Mira terkekeh.

"Iya." Arga mengusak rambut Mira. "Mau pulang?" tanya Arga.

Mira mengangguk. "Anterin, Ga. Gue males mesen ojol."

"Halah, alesan. Biasanya juga dianter jemput. Gue udah kayak supir pribadi."

Sebenarnya, Mira merasa beruntung karena bisa kenal dengan Arga. Laki-laki itu cukup sabar menghadapi bundanya yang seperti itu. Bahkan, Arga jarang sekali terlihat kesal dengan bundanya. Dia juga yang sering membantu Mira saat dirinya sedang dimarahin.

"Ga, gue turun jauh dari rumah aja. Takut lo malah kena amuk nanti," kata Mira begitu mobil Arga sudah memasuki kawasan perumahannya.

Arga tidak mendengarkan perkataan Mira. Dia justru menurunkan Mira tepat di depan rumahnya. Tepat di depan Regina yang sudah melayangkan tatapan tajam ke arah Arga.

"Selamat malam, Tante," kata Arga sopan.

"Ngapain kamu ngater anak saya?" tanya Regina ketus. "Inget ya, gara-gara kamu, nilai anak saya menurun."

Arga tertawa sumbang. "Maaf, Tan."

"Saya cuma ngater Mira, soalnya udah malem. Takut dia kenapa-napa di jalan. Dan soal masalah nilai menurun, bukankah itu wajar? Tidak semua anak bisa terus mempertahankan nilainya."

"Kalo gitu, saya pamit pulang, Tan," lanjut Arga.

Dia melambaikan tangannya kepada Mira. Tak lupa, ia juga tersenyum manis pada perempuan itu. Setelahnya, mobil hitam milik Arga sudah tidak terlihat lagi di pandangan keduanya.

"Aku tidur ya, Bun." Mira berjalan masuk ke kamarnya. Dia mengunci rapat pintu kamarnya. "Untung Arga pinter ngomong. Kalo engga, gue bisa diamuk lagi."

Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Kedua tangannya sibuk memainkan jari-jarinya sampai merasa bosan. Kemudian, Mira mengambil ponselnya. Ia membuka aplikasi yang sering sekali mendapatkan banyak notifikasi. Beberapa pesan ia abaikan begitu saja, males bales. Hanya pesan dari Gibran yang menarik untuk dia buka.

Gibransu
Mira
Lo mau dijodohin

Mira
Kata siapa?

Gibransu
Kata bonyok gue

Mira
Sama siapa anjir?

Gibransu
Sama gue lah
Makanya, gue ngasih tau

Mira
Ada alasan apa?!
Kenapa dijodohin?!
Gue masih suka Arga

Gibransu
Gatau
Aing juga masih suka orang
Masih suka Neng Thilla

Mira mematikan layar ponselnya. Dia segera keluar dari kamar dan menemui Regina yang berada di ruang TV. Sorot matanya tak terbaca.

"Bun, apa-apaan lagi sih?" tanya Mira. "Ngapain ngejodohin aku sama Gibran?"

"Loh? Harusnya kamu seneng dong," kata Regina.

"Aku gak suka sama dia. Lagian, dia juga udah punya pacar kali," kata Mira.

"Besok malem ada pertemuan sama keluarganya Gibran. Kamu dandan yang cantik. Bunda gak mau ngecewain Keluarga Sanjaya."

Mira mendengus sebal. Apa-apaan lagi? Bahkan zaman sudah berubah. Namun, kenapa perjodohan masih saja dilaksanakan? Memangnya, ini zaman Siti Nurbaya?

Ia berjalan kembali ke kamarnya. Tatapan matanya kini fokus menatap langit-langit kamarnya. "Kenapa hidup gue terlalu dikekang? Kenapa hidup gue gak kayak hidup orang lain? Bukankah semua orang juga ingin bebas?"

🥀🥀🥀

amourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang