Mira mengetuk pelan pintu rumahnya. Ia memandangi pintu putih tersebut sambil berharap kalau nanti bundanya akan memeluk tubuhnya saat baru membuka pintu.
Perempuan tersebut tersenyum saat seseorang membuka pintu rumah tersebut. "Bun," panggil Mira pelan.
"Ngapain pulang?"
Nyatanya, kehadirannya tak pernah dianggap oleh bundanya sendiri. Dirinya selalu menjadi bayang-bayang Stevia yang sempurna. Bahkan, semua orang enggan untuk menganggapnya ada.
"Aku mau ngomong sama bunda," kata Mira.
"Ck, bunda gak punya banyak waktu. Nanti lagi," tolak Regina. "Lagian, ngapain perlu ngomong sama bunda? Emang bunda perlu ngurusin hidup kamu?"
Mira menunduk. "Untuk terakhir kali, Bun." Air mata itu menetes tanpa seizin Mira.
"Gak usah nangis, cepetan ngomong."
Mira menatap Regina yang berada di ambang pintu. "Aku Mira Deondara, anak bunda sama ayah. Adik dari Kak Stevia. Aku, anak yang gak pernah disayang sama Bunda. Dari kecil, aku selalu dituntut buat jadi yang terbaik."
"Aku selalu disuruh buat selalu belajar. Kadang, nilaiku yang sempurna cuma dianggap sampah sama Bunda. Nilai yang sudah sempurna itu selalu kurang di mata Bunda. A—aku capek, Bun."
"Aku selalu iri sama Kak Stevia yang bisa selalu disayang sama Bunda. Aku iri sama kakak aku sendiri. Kenapa dia bisa disayang Bunda, sedangkan aku engga? Kenapa dia bisa dianggap sempurna sama semua orang, sedangkan aku engga?"
"Mira juga pengen kayak Kak Stevia. Dipuji, disayang, dicium setiap mau berangkat sekolah, dipeluk sebelum tidur, dibantu saat belajar, dan selalu dibangga-banggain keluarga besar."
"Bun, aku juga mau di bangga-banggin di depan teman-teman Bunda. Bukan di bandingin sama anaknya teman Bunda."
"Bun, aku ini anak kandung Bunda bukan? Kenapa gak pernah sekalipun disayang sama Bunda? Kenapa aku selalu dianak tirikan sama Bunda?"
"Bunda tau gak, aku selalu capek ngehadapin sikap Bunda yang kayak gitu ke aku. Aku capek karena selalu gak dihargai sama Bunda. Aku capek karena hidupku selalu diatur sama Bunda."
"Disaat SMA, Kak Stevia dibolehin punya pacar. Bahkan, pacar Kak Stevia selalu gonta-ganti. Tapi, kenapa aku gak boleh? Padahal, Arga yang selalu nemenin aku buat belajar. Arga yang selalu bantuin aku disaat kesusahan. Bahkan, keluarganya Arga yang bantu aku disaat aku harus dapat tanda tangan izin olimpiade."
"Bun. . ."
"Kenapa sih Bunda benci sama aku? Kenapa selalu anggap aku benalu? Kenapa aku gak pernah dapat kebahagiaan dari rumah?"
Dengan matanya yang berkaca-kaca, Mira masih bisa tersenyum sambil menatap Regina. Sedangkan, yang ditatap hanya memasang wajah datarnya tanpa ada rasa iba sedikitpun. "Udah ngomongnya? Kalo gak bahagia, pergi aja. Gapapa, silahkan."
Mira menunduk lagi. Kemudian, ia mundur beberapa langkah. "Bun, aku pergi. Selamat tinggal."
🥀🥀🥀
Sekarang, Mira sedang duduk di halte. Dia sudah memberikan semua hadiah kepada teman-temannya dan juga keluarganya. Semuanya dikirim menggunakan paket. Jadi, dia tidak perlu bertemu dengan mereka.
Begitu bus datang, Mira segera naik dan duduk di bangku paling belakang. Matanya terpejam saat bus mulai melaju pelan. Air matanya kembali menetes membasahi kedua pipinya.
"Aku mau istirahat, Tuhan."
Bus mulai melaju dengan kecepatan yang sedikit kencang. Bahkan, angin dari luar jendela mulai menerpa wajah Mira. Perempuan itu tersenyum sebelum mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya. Ia mengetikkan beberapa kata kepada seseorang. Begitu ia selesai mengirim pesan, bus yang ia tumpangi mulai kehilangan kendali dan tertabrak truk yang sedang melaju kencang dari arah yang berlawanan.
Mira
Aku istirahat, Arga.
Dadah. . .🥀🥀🥀

KAMU SEDANG MEMBACA
amour
Teen Fiction"Bun, aku juga mau di bangga-banggin di depan teman-teman Bunda. Bukan di bandingin sama anaknya teman Bunda." ☆ amour - aikasalsabilaa, 2020