Nyatanya, Tuhan masih berbaik hati kepada Mira. Perempuan itu masih hidup dengan kondisi yang tidak bisa dibilang baik. Dia koma karena kepalanya benar-benar terbentur cukup keras.
Arga menggenggam tangan kiri Mira. "Ra, kamu gak capek tidur? Kamu gak mau bangun buat ngeliat aku sama yang lain? Kamu gak mau beli eskrim sama aku?" tanya Arga sambil menahan tangis.
Perempuan yang ia cintai sudah tertidur hampir 2 bulan. Perempuan itu tidak pernah sedikitpun membuka matanya. Arga sudah membaca semua diary Mira. Membaca semua notes yang ia ketik di ponselnya.
Semuanya tertuju pada kebebasan dan keinginannya untuk mengambil universitas pilihannya. Namun, semuanya selalu dilarang oleh Regina. Mira selalu menuliskan kalau dirinya ingin mengejar mimpinya sendiri untuk pertama kali. Dia ingin masuk universitas favoritnya sejak kelas 10.
"Ra, kalau misalkan kamu gak mau bangun lagi. Gapapa deh. Aku ikhlasin kamu pergi. Tapi, kamu harus bahagia ya di sana. Jangan pernah sedih lagi, jangan nangis terus. Nanti, bahagia selalu ya. A—aku gak mau ngeliat kamu sedih. Aku gak suka liat kamu nangis, Ra."
"Mira," panggil Arga pelan. Air mata Arga membasahi tangan Mira yang berada di genggamannya. "Istirahat yang tenang ya." Dia mengecup kening Mira.
Mira hanya bisa meneteskan air matanya. Arga mengusap air mata tersebut. "Jangan nangis, Ra."
Arga mencium kening perempuan tersayangnya lagi. "Tidur lagi ya, Ra. Selamat malam."
Saat Arga hendak keluar, ia justru melihat Regina membuka pintu ICU. "Kenapa? Kenapa Tante ke sini?" tanya Arga.
"Saya mau ngejenguk anak saya," jawab Regina.
"Oh, Tante masih anggap Mira anak Tante? Saya kira, Tante sudah lupa dengan anak sendiri." Arga menatap raut wajah Regina. "Lagian, ini sudah hampir dua bulan dan Tante baru menjenguknya sekarang? Ke mana aja Tante selama itu?"
"S—saya baru tahu tadi."
"Dikasih tau? Bukan cari tahu sendiri 'kan?" Laki-laki itu mendekati Regina. "Ibu macam apa yang bahkan tidak peduli walupun anaknya tidak pulang hampir sebulan?"
"Ah, sudahlah. Silahkan dijenguk anaknya, Tante." Arga meninggalkan Regina di ruangan Mira. Itu adalah kesalahan terbesar yang Arga lakukan.
Regina mendekat ke arah Mira. Dia melepaskan selang oksigen di hidung Mira. Ia juga memperlambat air infusnya. Perempuan berhati iblis itu menatap anaknya tanpa kasihan.
"Kenapa gak mati aja? Capek bunda ngurusin anak nyusahin kayak kamu," bisik Regina sebelum meninggalkan Mira sendirian.
Namun, tak sampai beberapa menit, Arga kembali dengan buah-buahan di tangannya. Matanya membulat sempurna begitu melihat Mira sudah hampir kehilangan nyawanya.
Ia memanggil para perawat yang bertugas. Mira segera mendapatkan pertolongan dari para perawat tersebut.
"Mira, maaf. Maaf." Arga menangis lagi. Dia hampir kehilangan Mira. "Maaf karena aku gak bisa jaga kamu dengan baik." Ia menggenggam tangan Mira.
Mira menggenggam balik tangan Arga. Perempuan itu membuka matanya perlahan. Seulas senyum terukir di bibir tipisnya. "A—arga."
"Ra," panggil Arga pelan. "Udah mau pergi?" Arga tahu, semua orang akan tersadar dari koma dan setelahnya, dia akan pergi bukan? Hanya sedikit orang yang berhasil bertahan setelah koma yang panjang.
Mira tersenyum simpul. "B—bunda udah dateng 'kan? A—aku udah b—boleh pergi."
"B—bunda nyuruh aku pergi." Mira meneteskan air matanya. "Arga, peluk."
Arga memeluk tubuh mungil Mira. Mendekap tubuh itu dengan erat. "Ra, aku gak bisa. Aku gak mau kehilangan kamu."
"Ga, jagain bunda aku ya. Jangan sampai dia meneteskan air matanya cuma karena aku pergi. Tapi, kayaknya itu gak mungkin." Mira terkekeh. "Buat kamu, Arga. Makasih. Aku sayang kamu."
"Jangan nangis ya. Senyum selalu. Aku titip semuanya ke kamu. Bilangin makasih juga buat Mamah sama Papah karena udah bantuin selama ini."
"Aku pergi ya." Mira tersenyum sebelum dirinya memejamkan mata. Hembusan nafasnya mulai tidak terasa di dada Arga.
Laki-laki itu melepaskan pelukannya. Dia bisa melihat Mira yang sudah tertidur. Kemudian, ia keluar dari ruang ICU. "Kak, Mira pergi," kata Arga kepada perawat yang sedang mengecek beberapa berkas.
Perawat tersebut buru-buru menelepon dokter jaga dan ia segera berlari menghampiri Mira yang sudah tak sadarkan diri.
"Mira Deondara, waktu kematian 21.37 WIB, Minggu, 12 Mei 2020."
Arga mengecup kening Mira untuk terakhir kalinya. "Selamat tidur, Mira."
🥀🥀🥀
KAMU SEDANG MEMBACA
amour
Подростковая литература"Bun, aku juga mau di bangga-banggin di depan teman-teman Bunda. Bukan di bandingin sama anaknya teman Bunda." ☆ amour - aikasalsabilaa, 2020