Bab 8

4.7K 386 1
                                    

Aku menahan napas membayangkan ketegangan yang terjadi, serta kebingungan yang mungkin dialami ibu saat itu. Terlebih, perasaan macam apa yang ayah rasakan.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 22.45, tapi rasa penasaran membuat kantukku hilang. Tanganku kemudian membalik satu halaman lagi. Ingin segera mengetahui apa yang terjadi kemudian.

Minggu, 16 September 1984

Ilham masih belum bisa kuhubungi, bahkan adiknya bilang jika semalam dia tidak pulang. Lalu kuputuskan untuk mendatangi saja rumahnya, memastikan. Menggunakan sepeda yang kukayuh dengan kecepatan tinggi sejauh satu kilometer.

Saat di pertigaan, keraguan sempat melanda. Apakah sebaiknya pergi ke rumah Sofi atau tetap ke rumah Ilham. Karena dari kemarin pun Sofi belum bisa kuhubungi. Namun, gegas kupacu sepeda ke tujuan semula.

Tak lama setelah tiba di rumahnya, Ilham pulang dengan wajah masai. Ia berjalan melewatiku.

"Dari mana saja?" Aku menghadang jalannya. Ilham tidak menjawab.

"Dari mana?" Suaraku mulai meninggi.

Orangtuanya datang tergopoh menyambut, tapi Ilham masih bungkam.

Apakah dia tidak tahu kalau sudah membuat seisi rumah khawatir?

"Jawab dulu pertanyaanku!" Aku kembali memotong langkahnya. Ilham menatapku tanpa ekspresi.

"Kamu pasti tahu aku pergi ke mana, Zahra!"

Aku tercekat dengan mata membulat. "Cirebon?" Aku bertanya dengan setengah tak percaya. Bandung-Cirebon bukan jarak yang cukup dekat. "Jadi kamu benar-benar pergi ke Cirebon untuk menemui neneknya?" Tanyaku lagi saat dia hanya memalingkan pandangan. "Pulang-pergi?"

Aku tidak habis pikir.

"Kamu tidak akan mengerti, Zahra. Kamu tidak mengerti perasaanku." Kemudian Ilham berlalu dari hadapanku.

Tidak terima dengan perkataannya, aku menyusul Ilham masuk.

"Siapa yang tidak mengerti? Aku tahu bagaimana perasaanmu, makanya aku sangat khawatir!" Aku berteriak kepadanya dengan marah. "Bahkan tanpa mengabari orangtuamu sama sekali. Apakah itu yang dimaksud dengan 'mengerti perasaan'?"

"Tenang, Neng Zahra." Ibunya menghampiri sambil menenangkanku.

Aneh, kenapa di sini malah aku yang emosi sambil menangis!

"Biar Ilham tenang dulu. Kita biarkan dia sementara, ya?"

Akhirnya aku mengangguk sambil menyeka air mata. Ibu lalu membimbingku duduk di ruang tamu, sedangkan ayahnya mengajak Ilham berbincang di dalam.

Canggung dengan situasi, akhirnya aku pamit pulang. Barulah selepas Isya Ilham menemuiku di rumah.

"Maafkan aku," katanya. Wajahnya masih sendu.

"Tidak perlu minta maaf kepadaku." Suaraku sudah melunak, tidak seketus tadi pagi.

"Tapi aku sudah membuatmu khawatir, juga sudah membuatmu marah-marah di rumahku."

"Seharusnya aku yang minta maaf karena sudah memarahimu di depan orangtuamu."

Kami saling melempar senyum dan akhirnya kembali berbaikan. Begitulah, selama ini kami jarang bertengkar untuk waktu lama.

"Neneknya Sofi meninggal." Ada duka dalam di matanya. Aku sontak menutup mulut sambil mengucap kalimat istirja. Innalillahi wainna ilaihi rooji'uun.

"Sofi tidak mau bertemu denganku lagi, terakhir ayahnya yang menemuiku dan meminta untuk melupakannya."

Aku menatapnya dengan perasaan menyesal. Rupanya aku telah salah sangka.

Ilham lalu menceritakan semua, mulai dari pertemuannya di Warung Bakso Pak Mamat sampai  kepergiannya ke Cirebon.

Sayangnya nenek Sofi yang sedang dirawat di Rumah Sakit Pertamina mendapat serangan jantung dan meninggal dunia sebelum sempat Ilham temui. Sofi dan keluarganya yang datang kemudian setelah mendapat kabar duka, menyangka Ilham nekat menemui neneknya dan menjadi penyebab kematian.

"Aku sudah berusaha menjelaskan, tapi Sofi tidak mau mendengar. Ayahnya lalu menemuiku dan menyuruhku pulang. Ia bilang mulai saat ini Sofi sudah tidak ingin memiliki ikatan apa-apa lagi denganku dan tak ingin melihatku lagi."

Mata Ilham memerah dan seketika saja air matanya meleleh. Aku hanya bisa menatapnya dengan haru sambil menepuk-nepuk bahunya, tak tahu apa yang harus kukatakan lagi.

"Apa yang harus kulakukan sekarang, Zahra?"

Ilham menatapku seperti anak kecil yang kehilangan ibunya. Sungguh menyayat hati.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang