Langit senja berangsur pekat, sepekat kabut yang menyelimuti hati dan pikiran, kala motor yang kutumpangi membelah jalan pinggiran Ibukota dan mengantarkanku pulang.
Ayah duduk di kursi tamu seperti sedang menunggu seseorang, ketika kulangkahkan kaki memasuki rumah. Di tangannya tergenggam sebuah ponsel.
"Ayah sudah makan?" tanyaku, terdengar klise, sambil mencium tangannya. Namun, hal itu yang selalu pertama kali kutanyakan setiap pulang, entah jam berapa pun sampai di rumah. Mengingat Ayah pernah kehilangan selera saat makan sendirian.
"Sudah, tadi siang sebelum bertemu om Irvan." Ekspresinya tidak sedatar biasa. Ada senyum hangat di sudut bibirnya. "Hana sudah makan?"
Makan siang? Tentu saja sudah, bersama Fathan!
Laki-laki dengan ceritanya tadi siang itu kembali melintas dalam ingatan.
"Sudah." Aku memilih duduk di sampingnya, dibanding pergi ke kamar untuk menyimpan tas atau mengganti pakaian. "Ada proyek baru?"
Ayah mengangguk. "Sekarang di Kutai Kartanegara, tapi Ayah bagian remote control saja, biar giliran yang muda di lapangan."
"Ayah, sebenarnya ada yang ingin Hana bicarakan." Aku membelokkan arah pembicaraan.
"Apa?" Ayah menatapku dengan tatapan menunggu.
Keraguan kembali mendera. Apa sebaiknya tidak kukatakan sekarang? Atau, inikah waktu yang tepat untuk membahasnya?
"Tentang apa?" Ayah mulai curiga karena aku malah membisu.
"Bagaimana hubungan Ayah dengan tante Sofi sekarang?" tanyaku akhirnya.
Sejenak Ayah terdiam sambil menautkan kedua alisnya di tengah. "Baik. Kenapa?"
"Apa Ayah dan tante Sofi masih sering bertukar kabar?"
Aku melihat Ayah mengangguk. "Ya. Ada yang salah?"
Kuhela napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan. "Hana hanya khawatir Ayah akan kembali terluka."
Alis Ayah tertaut lagi di tengah. "Hana, ada apa? Kamu terlihat aneh hari ini." Ayah menepuk pundakku. "Oh, Ayah baru ingat. Sofi pernah mengajak kita makan bersama, tapi Ayah belum mengiyakan. Bagaimana menurutmu? Apa Ayah tolak saja ajakannya?"
Giliran dahiku yang berkerut. "Makan bersama?"
"Ya, katanya sesekali ingin berkumpul. Eh sebentar."
Sebuah dering telepon memotong pembicaraan. Ayah mengacungkan ponselnya, meminta izin untuk menjawab panggilan. "Om Irvan."
Setelah kuiyakan, Ayah mengangkat teleponnya dan berjalan ke arah halaman.
"Hana, Ayah minta maaf." Ayah muncul dari arah teras. "Bisa kita lanjutkan lagi besok? Ayah harus keluar dengan om Irvan, mungkin akan pulang malam. Ada pertemuan dengan calon klien dan om Irvan minta Ayah temani. Hana makan saja, ya. Tidak perlu menunggu," katanya lagi.
Aku mengangguk. Mungkin Ayah juga akan sibuk akhir-akhir ini dengan proyek barunya.
Tidak lama berselang, sebuah mobil menepi dan memberi klakson. Ayah bergegas keluar, hingga tidak lama kemudian deru mobil itu kembali menghilang.
Aku beranjak dari ruang tamu dengan langkah sedikit gontai, lalu berhenti di depan sebuah figura besar yang tergantung di sisi ruang keluarga.
Ibu, apa yang harus Hana lakukan?
Dadaku kembali dipenuhi sesak karena rasa penyesalan. Ada ganjalan yang ingin kumuntahkan, tapi tidak bisa. Hanya isak tangis yang berhasil keluar dari mulutku.
Mungkin selama ini aku terlalu gegabah dalam bertindak. Menyeret kembali kehadiran tante Sofi--beserta anaknya--dalam kehidupan kami. Kukira kehadirannya bisa membawa senyum Ayah kembali untuk selamanya. Namun rupanya, tidak ada kebahagiaan abadi di dunia ini.
Pikiranku melayang pada percakapanku dengan Fathan tadi siang.
"Setahun yang lalu Bunda divonis kanker serviks stadium 2 oleh dokter, saat Bunda pingsan di kamar mandi."
Suara Fathan yang kudengar kemudian hanya menyerupai dengungan suara lebah.
Kejadian serupa yang pernah dialami Ibu terulang kembali dalam kepala. Ibu mengalami pendarahan dan pingsan di dapur. Kami hanya mengira Ibu kelelahan. Ayah lalu membawa Ibu ke IGD dan tidak lama kemudian hasil lab pun keluar. Ibu didiagnosa kanker serviks dan sudah memasuki stadium 3.
Bagaimana Ayah akan menghadapi kejadian serupa?
--bersambung--
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pasti Kembali [Completed]
Narrativa generaleRupanya Ibu memiliki tempat teramat istimewa di hati Ayah. Nyatanya, setahun setelah 'kepergian' Ibu, ia terlihat masih sangat terpukul. Tidak tega melihatnya lama terpuruk, Hana berinisiatif untuk mencarikan Ayah seorang pendamping. Berharap bisa m...