"Ini seru banget, Tante. Hana kayak udah experts jadinya." Aku melonjak kegirangan saat mendapati Swiss Roll Cake yang kugulung tidak pecah.
Tante Sofi tersenyum puas melihat hasilnya. Di tangannya sudah siap sebuah pisau panjang, khusus digunakan untuk memotong kue.
"Mau Hana yang potong?"
Aku menggeleng, lalu bergeser supaya bisa mengamati bagaimana tante Sofi memotong tanpa merusak krim dan stroberi di dalam gulungannya.
"Jadi, ide membuka kafe itu awalnya dari Tante yang senang berkreasi di dapur?"
Tante Sofi menggeleng sambil mengulum senyum. "Bukan. Kafe itu murni hasil pemikiran dan kerja keras Fathan. Anak itu semenjak kuliah memang sudah suka bisnis. Pernah coba buka beberapa usaha, tapi malah nyantolnya di kafe."
Aku hanya berkomentar 'hmm' sambil mengambil potongan kue yang tante Sofi disodorkan. Perpaduan antara bolu lembut dan krim yang segar karena terdapat potongan buah stroberi di dalamnya membuat lidahku menari.
"Modal awalnya sih memang dipinjami oleh Papahnya, tapi belum dua tahun modalnya sudah bisa Fathan kembalikan."
Mataku melebar. Hampir saja tersedak. Secepat itu?
"Memang kak Fathan kuliah jurusan apa, Tante?" Rasa penasaranku mulai tergelitik. "Manajemen Bisnis?" Aku menebak.
Lagi-lagi tante Sofi menggeleng. Tawanya terdengar renyah.
"Public Relations."
"Oh, pantesan. Lebih ke branding jadinya, ya."
Selesai memotong, tante Sofi beralih ke kompor gas ovennya untuk melihat apakah kue panggangan terakhir kami sudah matang. Aku mengekori.
"Sudah matang?"
"Coba kita cek dulu." Ditusukkannya sebuah tusuk gigi untuk melihat tingkat kematangan di dalamnya. "Perfect!" Tante Sofi mengacungkan hasilnya. Bersih.
Aku menyerigai senang.
"Eh, Fathan sudah pulang?"
Aku sedikit terperanjat dan mengikuti arah tatapan mata tante Sofi. Fathan? Sejak kapan?
"Sudah lama sampai? Kok nggak kedengaran."
Fathan tidak masuk ke dapur melainkan mengambil air minum yang tersedia di meja makan. Antara ruang dapur dan ruang makan hanya dipisahkan oleh lemari kaca yang tembus pandang.
"Saking serunya, ya, Bun? Tadi Fathan salam nggak kedengaran."
Aku mulai salah tingkah. Mungkin, sebaiknya segera pamit.
"Hari ini nggak jadi ke Malang lagi? Bunda pikir tadi subuh pamit mau keliling ngecek gerai."
"Azka sudah bisa handle gerai yang di Malang dan Solo, jadi cuma ngecek yang di Cirebon."
Tante Sofi hanya mengangguk karena matanya telah fokus lagi pada loyang untuk memindahkan isinya pada piring yang sudah dialasi kertas roti. Aku masih mencari celah untuk bisa pamit.
"Istirahat saja dulu. Sebentar lagi Bunda beres."
Aku melirik Fathan yang sudah duduk di meja makan.
"Tante, sepertinya sudah malam. Hana mau pamit pulang. Maaf tidak bisa bantu merapihkan sisanya."
"Eh, pulang naik apa? Tadi ke sini naik apa, Hana?"
"Hana bisa naik ojol lagi pulangnya." Aku sudah bersiap untuk mencuci tangan dan merapikan barang-barang kotor bekas pakai.
"Biar Bi Suri nanti yang rapikan. Fathan!" panggilnya. "Tolong antar Hana pulang, kasian kalau pulang malam-malam sendirian naik ojol."
Aku berbalik. "Nggak apa-apa, Tante. Hana bisa pulang sendirian."
"Tapi ini udah mau jam sembilan."
Tante Sofi memasukkan beberapa potong kue ke dalam kotak dus kecil.
"Ini dibawa pulang, ya."
Heran karena belum mendapat jawaban dari putranya, kepala wanita itu menengok ke arah Fathan yang sedang sibuk dengan ponselnya.
"Fathan?"
Merasa diperhatikan, Fathan mengangkat wajahnya. "Iya, Bun?"
"Beneran, Tante. Saya pulang sendiri aja. Insya Allah aman. Bukan sekali ini Hana pulang malam, kok, walau tidak sering. Tante tidak perlu khawatir. Nanti Hana kabari kalau sudah sampai." Aku masih berusaha meyakinkan.
"Nggak apa-apa. Tante takut ada apa-apa di jalan."
"Tapi kak Fathan baru pulang perjalanan jauh."
"Kalau gitu, Tante panggilkan supir yang biasa Tante mintai tolong aja, ya?" Tante Sofi bersiap menghubungi sebuah nomor.
"Tidak usah repot-"
"Hayu!" Fathan berseru sambil berdiri, melerai. "Sudah siap?" Tangannya meraih kunci mobil yang tadi diletakkannya di atas meja.
Eh?
Wajah tante Sofi berubah cerah. Dengan semangat, ia mengantarku ke depan.
Mobil Fathan sudah menunggu ketika kami sampai di pintu. Aku pamit sembari berterima kasih atas semuanya hari ini.
Aku memilih duduk di kursi belakang. Lebih aman jika duduk di belakang saja, bukan?
Fathan menoleh.
"Tidak keberatan kalau duduknya di belakang, kan?"
Fathan tidak menjawab. Diturunkannya jendela depan, sambil memberi klakson.
"Berangkat dulu, Bun."
Mobil pun bergerak meninggalkan halaman rumah. Jantungku berdetak kencang.
--bersambung--
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pasti Kembali [Completed]
General FictionRupanya Ibu memiliki tempat teramat istimewa di hati Ayah. Nyatanya, setahun setelah 'kepergian' Ibu, ia terlihat masih sangat terpukul. Tidak tega melihatnya lama terpuruk, Hana berinisiatif untuk mencarikan Ayah seorang pendamping. Berharap bisa m...