Extra Part

7.8K 458 25
                                    

Nia SOTTA Malang: Mas Fathan, ada yang nyari.

Pesan seorang karyawan yang muncul di layar paling atas, kuabaikan. Konsentrasiku masih tertuju pada laporan yang dikirim Erik tadi siang melalui surel, sambil menunggu keberangkatan di ruang tunggu bandara Abdul Rachman Saleh.

Nia SOTTA Malang: Mbaknya minta nomor Mas Fathan, tapi tidak saya kasih. Dia titip bungkusan dan kartu nama.

Tanganku menggulir pesan yang kembali muncul itu ke kiri, hingga tidak terlihat lagi. Kulanjutkan meneliti laporan walau kepalaku sedikit berat.

Nia SOTTA Malang: Anu ... wajahnya sekilas mirip Mbak Dinda. Katanya anak temannya Bunda Mas Fathan.

Aku mengernyit membaca pesan yang kembali muncul di layar paling atas. Lalu kubuka pesannya.

Fathan: Namanya?

Nia mengirimkan foto sebuah kartu nama beserta sebuah kotak pipih.

Kepalaku berusaha mengingat, apakah Bunda pernah menceritakan seorang anak temannya yang bernama Raihanah. Namun, tidak kutemukan nama itu dalam kepala.

Fathan: Simpan saja. Minggu depan saya ambil. Meja nomor berapa?

Kubuka aplikasi DVR untuk melihat rekaman CCTV dan memperbesarnya satu-per-satu. Tanpa menunggu jawaban pun, bisa kusimpulkan wanita mana yang dimaksud dengan hanya melihat rekaman.

Mirip Dinda?

Aku mendengkus. Beberapa menit kemudian tanganku sibuk menggeser-geserkan kursor. Kuperhatikan wajahnya lebih dekat saat wanita berhijab itu berdiri di depan meja kasir.

Kuperbesar lagi ukuran hingga fokus gambar hanya pada wajahnya.

Sekian lama aku hanya menatapnya sambil tercenung. Wanita bermata bening itu seperti tengah menyimpan duka, duka yang mengingatkanku pada seseorang. Bukan Dinda, melainkan Bunda.

***

Kunjunganku ke Malang kali ini di luar rencana. Tiba-tiba saja Andin menghubungi dan mengatakan jika ingin membatalkan rencana pernikahannya dengan Azka, padahal persiapan pernikahan mereka sudah hampir sembilan puluh persennya rampung. Apa dia sudah gila?

"Kenapa?" geramku lewat sambungan telepon. Kabar terakhir yang kudengar, Andin sudah tidak masuk kerja hampir satu minggu terakhir

"Maafkan saya, Mas. Saya masih ragu apakah  bisa menikah dengan Mas Azka," jawabnya hampir mencicit.

"Setelah semua persiapannya hampir rampung? Kenapa kamu terima lamarannya saat itu?"

Tidak ada jawaban, hanya terdengar suara isak tangis.

Tanganku mengacak rambut. Tidak mengerti bagaimana jalan pikiran wanita. Sebentar-sebentar mereka minta dilamar, sebentar-sebentar meminta putus.

Mau tidak mau, ingatanku kembali terlempar pada kejadian dua tahun silam, saat wanita yang kulamar pergi untuk selamanya.

Wanita itu menatap kotak cincin yang kuberikan dengan tatapan yang tidak bisa kumengerti. Seharusnya dia menangis bahagia, atau malah berteriak karena senang. Namun, yang dilakukannya hanya menatap cincin itu dalam diam.

"Kamu tidak suka?" tanyaku khawatir. Untuk pertama kalinya kulihat ekspresi seperti itu di wajahnya. "Apa ini bukan cincin yang pekan lalu kamu maksud?"

"Aku suka."

Ekspresinya masih sedatar tadi. Tidak ada senyum ataupun air mata.

"Aku suka karena akhirnya laki-laki yang kucintai melamarku." Tarikan di sudut bibirnya menyadarkanku bahwa senyum itu sedikit ganjil. "Tapi aku menyayangkan karena laki-laki yang melamarku adalah kamu."

Dinda memandangku. Seolah belati ikut menghujam lewat tatapannya.

"Maksudnya? Bukankah sama saja?"

Wanita itu mengembuskan napas panjang. "Andai saja orang yang melamarku juga orang yang mencintaiku." Pandangannya kembali pada kotak yang ia timbang di atas tangannya.

"Apa maksudmu?" Kuulas senyum demi menghalau kecanggungan. "Untuk apa aku melamar jika tidak mencintaimu?"

"Kamu hanya tidak ingin aku terluka." Gadis itu menundukkan pandangan.

"Dinda, jangan bicara yang tidak-tidak. Kamu hanya sedang banyak pikiran. Apa yang kamu tuduhkan itu tidak benar."

Gadis itu kembali memandangku. "Apa aku bisa mempercayainya?"

Kepalaku mengangguk.

"Kalau begitu, aku ingin tahu seberapa besar ketulusanmu. Tapi, kalau di tengah jalan kamu ingin menyerah, kamu tidak perlu ragu melepasku."

Aku tidak menyadari bahwa itulah pertemuan terakhir kami. Keesokan harinya, gadis itu meninggal dalam sebuah kecelakaan tunggal di jalan tol.

"Saya tahu saya salah, Mas Fathan." Suara Andin di telepon segera menyadarkanku.

Aku tertegun sejenak, sambil berpikir. "Kalau begitu, biar saya bertemu dengan orangtuamu. Nanti saya kabari Azka supaya menunda pernikahan kalian. Saya yang akan menghubungi WO-nya."

--bersambung--

🌸🌸🌸

Terima kasih sudah mau bersabar untuk menunggu extra part, walau harus kembali bersabar menunggu lanjutannya. 😆

Extra part ini tidak akan panjang, tapi mungkin masih menyisakan 2 part lainnya tentang Hana.

Terima kasih bagi yang sudah berkenan vote dan comment.

❤❤❤

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang