Bab 27

4.3K 459 10
                                    

Motorku baru saja terparkir, ketika dering ponsel dari dalam tas berhenti. Rupanya ada 3 panggilan tidak terjawab dari nomor yang sama. Hendak kupanggil balik, tapi sebuah panggilan kembali masuk.

"Assalamu'alaikum, Kak Hana." Suara Caca terdengar panik.

"Wa'alaikumussalam. Ada apa?" tanyaku sambil mengatupkan sebelah tangan pada mulut yang kudekatkan pada ponsel, supaya tidak terganggu suara bising lalu lintas.

"Duh, maaf banget, Kak. Caca masih di rumah."

"Oh, nggak apa-apa. Kakak juga baru nyampe. Tadi ngobrol sama teman dulu." Aku beranjak dari motor.

Caca mengajakku bertemu di akhir pekan ini, sebelum katanya mau pulang ke Malang. Lalu setelah menghadiri resepsi pernikahan teman kuliah siang ini, kusempatkan mampir ke SOTTA.

"Oh sudah sampai, ya? Duh, gimana, ya?"

"Kenapa?" Langkahku terhenti sebelum mencapai pintu masuk.

"Ini, Tante kambuh lagi sakitnya. Kayaknya Caca nggak bisa ninggalin Tante, deh."

Sontak kepalaku berpikir yang tidak-tidak. "Bagaimana kondisi Tante sekarang?" Suaraku terdengar panik.

"Sudah lebih mendingan, karena barusan sudah minum obat, tapi Tante masih nggak mau diajak periksa ke dokter."

"Kak Fathan?"

"Ada di rumah."

"Jadi Tante masih nggak mau diajak ke rumah sakit walau sudah dibujuk Kak Fathan?"

"Eh? Iya. Maaf, ya, Kak. Padahal Caca mau nanya sesuatu sama Kak Hana. Mana Kak Hana sudah jauh-jauh datang, lagi."

"Gini aja. Gimana kalau Kak Hana aja yang ke sana, sekalian lihat kondisi Tante?" Tanpa menunggu jawaban, aku kembali ke tempat motor diparkirkan tadi.

"Nggak apa-apa?"

"Iya, nggak apa-apa. Lagian dari sini ke rumah Tante juga nggak terlalu jauh."

"Hati-hati di jalan kalau begitu."

Setelah sambungan diputus, gegas kunyalakan mesin motor sambil sibuk merapal doa dalam hati. Berbagai pikiran negatif kemudian bermunculan dalam kepala. Bagaimana kalau sampai terjadi hal buruk menimpa Tante Sofi?

Kenangan tentang Ibu pun mulai berkelebat dalam benak. Bagaimana saat ibu pendarahan dan pingsan, menjalani terapi selama beberapa bulan, lalu kondisinya menjadi drop, hingga akhirnya dokter menyarankan untuk melakukan operasi pengangkatan rahim.

Kupacu motor dengan kecepatan tinggi,  beruntung jalan tidak semacet biasanya.

Tiba di depan rumah, segera kutekan bel dengan tangan yang masih bergetar. Bersyukur tidak terjadi apa-apa selama di perjalanan dengan kondisi pikiranku yang khawatir seperti ini.

Tidak lama kemudian pintu gerbang dibuka dan wajah Fathan yang muncul di baliknya.

"Pak--" Alih-alih panik, wajah Fathan lebih terlihat bingung mendapatiku.

"Hana? Ada apa?" Kepalanya  menyelidik ke sekeliling. Lalu memberikan jalan supaya motorku bisa lewat

"Tante? Gimana kabar Tante sekarang?" tanyaku setelah Fathan kembali menutup gerbang.

Bukannya langsung menjawab, Fathan malah mengamatiku. "Bunda?"

"Tadi Caca bilang sakitnya Tante kambuh. Bagaimana kabarnya sekarang?"

Dahi Fathan semakin berkerut.

Eh, apa tadi aku salah dengar?

"Bunda ... ada di dalam." Kepalanya seperti sedang mencari sesuatu yang tidak beres. "Tadi ... memang batuknya kambuh." Jawaban ragu Fathan seketika membuat badanku sedikit oleng.

Batuk?

Aku terduduk lemas sambil menutup wajah dengan kedua belah tangan. "Ya Allah, Hana pikir ...."

"Apa tadi Caca bilang sesuatu?"

Aku menggeleng. "Caca hanya bilang kalau sakit Tante kambuh. Aku sudah berpikir yang tidak-tidak sepanjang jalan tadi. Syukurlah kalau Tante baik-baik saja."

"Kamu tidak apa-apa?" Suara Fathan terdengar khawatir. "Kamu bisa berdiri?"

Aku mengangguk. Fathan hendak mengulurkan tangan, tapi urung. Mataku kembali melihat cincin yang melingkar di jarinya.

Sadar akan arah tatapanku, Fathan terlihat salah tingkah, lalu memasukkan tangannya ke dalam saku celana.

"Pasti sulit melupakan seseorang yang sangat berarti dalam hidup kita, apalagi untuk mengikhlaskannya pergi." Tiba-tiba saja kalimat itu meluncur, saat tubuhku sudah kembali seimbang. "Cincin itu menandakan bahwa kamu belum bisa melupakannya, kan?"

Fathan mematung sambil menatapku.

"Apa mungkin kebaikanmu selama ini karena kebetulan wajah kami mirip? Ah, apa yang sedang kubicarakan?" Kukibaskan daun-daun kecil dan debu yang menempel pada rok.

"Bukan," jawab Fathan yang membuat kepalaku kembali menoleh ke arahnya. "Bukan urusanmu, kan?"

Aku terkesiap dengan jawabannya.

--bersambung--











Jodoh Pasti Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang