"Hana, boleh Ayah bicara sebentar?" Ayah mengetuk pintu kamar.
Pagi ini kuputuskan untuk kembali menarik selimut setelah menyiapkan sarapan. Seperti ada desingan suara lebah dalam kepala yang membuatku enggan beraktivitas seperti biasa.
Suara ketukan kembali terdengar di pintu. "Kamu baik-baik saja?"
"Sebentar," jawabku sambil menyingkap kemulan dan beranjak dari tempat tidur.
"Ya, ada apa?" Aku menghentikan langkah tepat di daun pintu dan mendapati Ayah tengah menunggu di depan meja makan.
"Ada yang ingin Ayah bicarakan."
Kuhela napas sebelum melangkahkan kaki dengan sedikit enggan.
"Sofi menghubungi Ayah tadi."
Aku menegakkan tubuh saat duduk di kursi begitu mendengar kalimat Ayah barusan.
"Katanya lusa sudah mulai pengobatannya di Singapura, jadi nanti malam akan berangkat."
"Ayah tahu?" Aku menatap Ayah heran.
"Tahu tentang apa?"
"Penyakit Tante Sofi?"
"Kanker Serviks seperti ibumu?"
Aku mengangguk.
"Ya, Sofi menceritakannya ketika tahu penyebab kematian ibumu." Ayah menghela napas sejenak. "Sofi bilang jika dia juga memiliki penyakit yang sama dengan Zahra. Ayah hanya bisa menyemangatinya untuk bisa tetap bertahan hidup."
Menyemangati? Apa trauma Ayah sudah hilang?
"Ayah tidak terganggu dengan kondisi kesehatan Tante Sofi? Maksudku, tidak mengingatkan Ayah pada Ibu?"
Ayah saling menautkan kedua tangannya di atas meja. "Tentu saja Ayah masih ingat bagaimana perjuangan ibumu melawan kankernya. Bagaimana detik-detik terakhir brankarnya didorong memasuki ruang operasi. Bagaimana dokter keluar dari ruang operasi dan menyampaikan kabar duka itu. Rasanya baru saja kemarin semuanya terjadi." Ada kristal bening di sudut matanya.
Aku mengulurkan tangan dan menggenggam kedua tangannya. Ayah mulai terisak.
"Maafkan Hana, Ayah. Karena Hana lah yang membuat Ayah kembali bertemu dengan Tante Sofi, yang ternyata malah menambah luka pada ingatan Ayah tentang Ibu." Air mataku jatuh.
"Kamu tidak bersalah, Hana. Ini bukan salah siapa-siapa. Bukan salah Sofi, juga bukan salah ibumu." Ayah menyapu air matanya dengan tangan.
"Hana," Ayah mengembuskan napas dan berusaha membuang duka di matanya. "Tadi Sofi titip salam, sebab katanya teleponmu tidak aktif dari semalam setelah mengirim pesan. Pesan perpisahan? Benar begitu?"
"Aku hanya mengucapkan terima kasih atas kebaikannya selama ini."
"Tapi katanya seperti pesan perpisahan. Apa kamu tidak mau menemuinya dulu untuk memberi dukungan? Apa kamu tidak berempati dengan keadaan Sofi sekarang?"
Tatapan Ayah seperti jarum yang menembus kornea mataku. Kutundukkan wajahku yang memanas seketika.
"Bukan, Hana bukannya tidak berempati. Hanya saja--"
"Kamu tidak menemuinya kemarin padahal sudah sampai di rumahnya?"
"Tante Sofi tahu? Atau Fathan yang bilang?" Hati-hati kuangkat wajah dan membalas tatapannya.
"Katanya Sofi mendengar suara motor dan melihat kamu di halaman bersama Fathan. Kalian bertengkar?"
"Hanya berbeda pendapat dan memang sering berbeda pendapat setiap kali bertemu," jawabku meluruskan.
"Hanya pasangan suami istri atau sahabat yang sudah saling dekat yang biasanya bertengkar mempersoalkan hal sepele karena perbedaan pendapat, lalu berkali-kali berdamai lagi, bukan?" Ayah mengulas senyum. Titik-titik dukanya sudah menguap.
"Apa maksud Ayah?"
"Hana." Ayah mengubah posisi duduknya. "Apa mungkin kamu menyukai Fathan?"
Tubuhku seperti membeku.
"Kenapa kamu mengabaikan perasaanmu? Kenapa menolak tawaran untuk dijodohkan dengan Fathan waktu itu?"
"Hana ... Hana hanya belum yakin dengan perasaan Hana sendiri. Lagipula masih ada wanita lain di hatinya."
"Bukan karena ingin mencarikan jodoh dulu untuk Ayah?" Ayah terkekeh.
"Ya, karena itu juga," jawabku sambil mengulum senyum.
"Kamu tidak mau mengakui perasaanmu karena merasa berat dengan posisi Ayah? Berat jika Ayah harus berbesan dengan wanita yang pernah menyakiti hati Ayah di masa lalu dan yang akan membawa luka baru di masa depan?"
Aku tertegun. Dari mana Ayah bisa menemukan kalimat fantastik seperti itu?
"Hana, jodoh itu Allah yang mengatur, bukan kita. Kamu akan menikah dengan anak siapapun selama itu baik untukmu dan bisa memberikan kebahagiaan, akan Ayah dukung. Apalagi anak dari orang yang Ayah kenal."
"Ayah," tukasku.
"Apa perlu kita ke rumahnya sekarang untuk memberikan semangat pada Sofi? Mungkin mereka akan lama di Singapura nanti, bisa berbulan-bulan. Papahnya Fathan memiliki sebuah apartemen yang disewakan selama tidak ditempati. Mereka akan tinggal di sana untuk sementara."
"Tapi Hana sudah bilang tidak ingin bertemu dengannya lagi."
"Fathan?"
Aku mengangguk.
--bersambung--
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pasti Kembali [Completed]
General FictionRupanya Ibu memiliki tempat teramat istimewa di hati Ayah. Nyatanya, setahun setelah 'kepergian' Ibu, ia terlihat masih sangat terpukul. Tidak tega melihatnya lama terpuruk, Hana berinisiatif untuk mencarikan Ayah seorang pendamping. Berharap bisa m...