Jumat, 5 Oktober 1984
Kenapa sih Rio itu jadi senang mengajakku pulang bareng? Sebetulnya aku merasa risih. Bukan apa-apa, tapi teman kerja yang melihat bisa berpikiran macam-macam. Padahal, kami sama sekali tidak memiliki hubungan spesial. Dan tahu apa alasannya saat mengajakku pulang bersama? Masih sama. Ke rumah neneknya di gang Mawar! Apakah Rio termasuk cucu berbakti yang selalu menyempatkan diri menengok neneknya?
Eh tunggu, bukannya hari selasa lalu dia bilang di gang Mawar itu rumah pamannya?
Aku turut menautkan kedua alis di tengah. Seingatku juga memang Rio akan ke rumah pamannya, bukan neneknya. Demi menjawab rasa penasaran, kubalik halaman sebelumnya. Ternyata memang jelas tertulis, 'ke rumah pamannya di gang Mawar'.
Ya Allah, ternyata kedua orangtuaku memang tidak bisa melihat sinyal dari orang yang diam-diam menyimpan rasa!
Gemas sekaligus geli membayangkan Ibu yang sangat polos kala itu.
Kulanjutkan membaca buku harian.
Apa waktu itu aku salah dengar? Atau memang pamannya tinggal bersama neneknya? Aku tidak begitu peduli juga, sih. Biar saja.
___
Minggu, 7 Oktober 1984
Semakin aneh saja, Rio kemarin meminta izin untuk main ke rumah. Untuk apa?
Ternyata hari ini dia buktikan ucapannya. Sekitar jam 9 pagi Ayah memanggilku saat sedang melicin pakaian sambil menonton acara kesayangan di televisi. Katanya ada tamu. Kukira ayah bercanda. Palingan Ilham! Ternyata Rio yang datang. Mau apa dia?
Jujur, aku canggung selama kami berada di ruang tamu. Aku lebih banyak menjawab dibanding bertanya atau memulai pembicaraan. Entahlah, rasanya waktu berjalan begitu lama. Beruntung tidak lama kemudian Ilham datang. Eh, Ilham?
Ilham datang, katanya mau mengajakku ke toko buku. Tapi, dia urung saat melihat Rio di ruang tamu.
"Aku tidak mau mengganggu orang yang lagi pacaran." Ilham mengejekku.
Apaan sih? Siapa yang pacaran? Aku mengejarnya.
Rio mengikutiku. "Zahra, apa saya sudah berbuat salah? Maksud saya, apakah dia pacarmu?"
Aku mematung mendengar pertanyaannya.
"Saya Ilham, sahabat baik Zahra sejak SMA." Ilham yang menjawab sambil mengulurkan tangannya. Memperkenalkan diri.
Rio tampak sumringah, menjabat tangan Ilham sambil memperkenalkan diri.
Aku? Aku hanya melihat mereka, bergantian.
Rio akhirnya pamit. Entah dia mengalah atau memang ada urusan lain. Tapi setidaknya, aku sedikit lega.
"Kalian sedang pendekatan?" Ilham mengejutkanku dengan pertanyaannya.
Apa, pendekatan? Apa dia tidak salah ucap? Tentu saja bukan. Kujelaskan kalau Rio sekalian mampir karena rumah saudaranya tidak jauh dari sini.
"Rio sepertinya serius sama kamu."
Aku tidak menjawab. Seperti ada yang memukul-mukul hati. Sakit.
"Bagaimana menurutmu kalau ternyata Rio benar menyukaiku?" Aku menantangnya.
"Dia kelihatannya baik." Ilham memandangku.
Ah, kenapa hatiku sepertinya remuk?
"Terima saja!"
Saat itu pula, hatiku benar-benar patah.
___
Jumat, 12 Oktober 1984
Tebakan Ilham memang benar. Rio menyukaiku. Dia mengakuinya tadi sore, saat kutolak untuk kembali pulang bersama.
"Kenapa beberapa hari ini kamu senang mengajakku pulang bareng? Apa tidak khawatir dengan penilaian orang lain?"
Tebak, apa jawabannya!
"Aku tidak peduli dengan penilaian orang lain, Zahra. Sebenarnya sudah lama aku menyukaimu, kalau kamu berkenan."
Aku menatapnya dengan kikuk. Apa yang harus kujawab?
"Apa ada orang lain yang sedang mendekatimu?"
Aku menggeleng.
"Ada orang yang sedang kamu sukai?"
Aku diam.
"Apakah kamu mau menjadi pacarku?"
Tubuhku seketika kaku.
"Aku ingin serius denganmu." Rio meyakinkanku.
Aku masih belum menjawab, tapi tiba-tiba wajah Ilham melintas di pikiran.
"Aku ... aku tidak bisa menjawabnya sekarang." Akhirnya kuberanikan diri.
Rio mengangguk. "Baik, aku tidak ingin memaksamu untuk menjawabnya sekarang. Tapi kumohon, jangan buat aku menunggu lama." Rio melepaskan senyum. Aku baru sadar kalau senyumnya manis.
Ya Allah, ternyata bukan hanya senyumnya saja yang manis, tapi lihat ... wajahnya juga tampan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pasti Kembali [Completed]
Ficción GeneralRupanya Ibu memiliki tempat teramat istimewa di hati Ayah. Nyatanya, setahun setelah 'kepergian' Ibu, ia terlihat masih sangat terpukul. Tidak tega melihatnya lama terpuruk, Hana berinisiatif untuk mencarikan Ayah seorang pendamping. Berharap bisa m...