Bab 16 | 2

4.2K 399 2
                                    

"Hana?" Seorang wanita paruh baya dengan paras yang masih terlihat cantik--mesti tanpa polesan make-up berlebihan--memanggilku sambil melambaikan tangan. Wajah dan tatapannya meneduhkan.

Kuhampiri tante Sofi yang sudah duduk di sebuah kursi panjang di sudut ruangan. Kursi yang dipilihnya cukup strategis untuk mengamati seisi kafe, termasuk untuk memantau siapa saja yang keluar-masuk.

"Sudah lama? Maaf, macetnya lumayan."

Tante Sofi bangkit menyambut. Kucium tangannya. Wanita yang memakai gamis cokelat keemasan itu lalu melanjutkan dengan ritual cium pipi kanan-kiri yang diakhiri dengan pelukan, seperti yang biasa dilakukan orang ketika bertemu dengan teman atau keluarga yang sudah lama tidak berjumpa. Awalnya sedikit canggung, tapi tante Sofi membuatku menjadi lebih nyaman setelahnya.

"Sudah Tante duga, kamu cantik kayak Almarhumah." Dia memandangku takjub. Matanya berkaca. "Eh maaf. Mari, duduk."

Aku duduk di sebuah kursi bulat di hadapannya.

"Pesan makanan dan minuman dulu, ya. Hari ini Tante yang traktir." Disodorkannya buku menu ke hadapanku.

Aku mengulum senyum. Ternyata tante Sofi seramah yang kubayangkan.

"Ada rekomendasi, Tante?" Aku masih belum bisa memilih.

"Yang ini enak, ini juga enak." Tangannya menunjuk beberapa nama pada list menu. "Tapi Tante suka pesan yang ini setiap ke sini. Mau coba yang ini?"

"Boleh, Tante." Aku mengangguk senang.

Pelayan yang sudah siap dengan tab khususnya datang untuk mencatat pesanan.

"Kamu dosen, ya? Sudah lama jadi dosen?" Matanya berbinar memandangku.

"Hana baru ngajar empat tahun, Tante."

"Tante juga dulu pernah bercita-cita jadi pengajar, tapi orangtua tidak setuju. Apa boleh buat, akhirnya Tante jadi akuntan." Senyumnya mengembang.

Ah, tante Sofi memang cantik.

"Melihat kamu, Tante jadi ingat pertama kali kami bertemu."

"Dengan Ibu? Bagaimana, Tante?" tanyaku antusias, sembari mengubah posisi duduk.

"Ya, kami kenal gara-gara majalah itu." Matanya menerawang, mulai mengingat-ingat.

"Majalah? Terus?"

"Jadi dulu, ketika ada lomba menghias mading di sekolah, Tante dan dua teman Tante didaulat untuk menjadi utusan mewakili kelas. Kami lalu sepakat mengangkat tema tentang pemuda yang sukses meniti karir semenjak usia muda. Kebetulan di majalah itu ada profil siapa--Tante lupa--yang akan kami jadikan salah satu bahan. Sayangnya, itu edisi majalah bulan sebelumnya."

Aku mendengarkan dengan antusias.

"Karena majalah edisi bulan sebelumnya, jadi jumlahnya sangat terbatas. Kebetulan di toko buku itu Ibumu juga sedang mencari majalah yang sama. Katanya ada tugas mereview--atau apa--tante agak lupa. Pas banget majalahnya tersisa satu."

Tante Sofi menjeda ceritanya saat pelayan membawakan minuman.

"Tante bilang kalau tante hanya perlu halaman sekian. Ibumu juga bilang perlunya dari halaman sekian sampai sekian. Lalu kami sepakat untuk berbagi majalah. Namun, Tante bilang mau membayarnya penuh."

"Lalu?"

"Tadinya ibumu tidak setuju, tapi Tante terus membujuk karena majalah itu akan Tante gunting di beberapa bagian. Tante merasa tidak enak hati."

Senyum tante Sofi kembali mengembang.

"Akhirnya Ibumu setuju, karena penjualnya sudah tidak sabar menunggu kami berebut bayar. Ibumu bilang nanti akan mengembalikan majalahnya setelah selesai. Sejak saat itu kami mulai dekat."

"Kenapa majalahnya tidak dikembalikan sejak dulu?"

"Oh, itu ... Ibumu pindah rumah tidak lama setelah kejadian itu. Katanya majalahnya entah terselip di mana, karena ibunya yang membereskan. Padahal Tante sudah lupa dengan majalah itu. Ternyata ketemu dan disimpan." Matanya kembali berkaca.

"Jadi, setelah itu Tante juga kenal dengan Ayah?"

Ada keterkejutan yang kutangkap di matanya.

"Oh iya, itu karena Ibumu berteman baik dengan Ayahmu. Mereka selalu bersama kemana saja. Akhirnya kami bertiga jadi akrab."

"Lalu Ayah berpacaran dengan Tante?" Kusungging sebuah senyum.

"Bagaimana Hana bisa tahu?" Bola matanya melebar.

"Dari buku harian Ibu." Kubiarkan lengkung senyumku melebar.

"Buku harian? Ibumu menuliskannya di sana?"

Aku mengangguk.

Tante Sofi terlihat seperti bersalah.

--bersambung--

Jodoh Pasti Kembali [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang