Aku melirik jam yang tergantung di dinding. Rasa kantukku sepertinya benar-benar hilang, berganti penasaran--yang membuatku bertahan untuk membuka kembali lembarannya.
Minggu, 23 September 1984
Jam 7 pagi telepon berdering. Tante Ida, ibunya Ilham, yang menelepon. Ia mengabarkan kalau putra sulungnya akan bertemu Sofi hari ini. Tapi tante Ida tidak menyebutkan tempat dan waktunya. Beliau tidak tahu. Namun, aku mungkin tahu.
Jadi, Sofi sudah kembali?
Aku bergegas berganti baju, berpamitan pada Ayah yang sedang membetulkan televisi di halaman, dan meminta izin pada Ibu di dapur untuk melanjutkan pekerjaanku nanti.
"Zahra," Ibu menahan lenganku setelah kucium tangannya. "Jangan terlalu jauh melibatkan diri dalam urusan mereka." Ada kekhawatiran dalam tatapannya.
Ibu meraih pundakku sehingga kami berdiri saling berhadapan. "Kamu pasti tahu apa yang harus kamu lakukan dan apa yang tidak. Kamu juga pasti tahu batasanmu sebagai seorang sahabat sampai di mana."
Aku lalu merenungkan perkataan Ibu sepanjang jalan, hingga berpikir untuk berbalik arah.
Ya, kenapa aku harus serepot ini? Toh Ilham dapat mengurus dirinya sendiri. Pun kalau butuh bantuan, dia pasti menghubungiku.
Tapi, tante Ida jelas-jelas tadi meminta bantuan.
Kutarik tuas rem dengan mendadak sehingga ban sepeda berdecit.
"Sebaiknya aku pulang!" kataku pada diri sendiri.
___
Senin, 24 September 1984
Dalam perjalanan berangkat kerja, kami berpapasan. Aku tidak berani bertanya tentang pertemuannya dengan Sofi kemarin. Kami hanya saling menyapa. Lalu Ilham tampak terburu-buru dan bilang beberapa hari ke depan akan lebih sibuk dari hari biasanya.
___
Selasa, 25 September 1984
Tante Ida bilang Ilham lembur.
Aku jadi sedikit khawatir memikirkan kesehatannya. Terakhir bertemu, matanya lebih sayu dari biasa. Apakah dia baik-baik saja?
Aku masih penasaran pertemuannya dengan Sofi. Walau tidak ingin berprasangka buruk, tapi mau tidak mau harus kuakui jika pertemuan itu akan berdampak sesuatu kepadanya.
___
Kamis, 27 September 1984
Betul saja, Ilham jatuh sakit setelah tiga hari berturut-turut lembur. Kemarin malam ia masuk Rumah Sakit, tapi bersikeras untuk pulang. Akhirnya hari ini dia dirawat di rumah.
"Kamu lembur atas kemauan sendiri atau perintah atasan?" Aku tidak mau berbasa-basi menanyakan kabarnya. Sudah jelas tubuhnya masih terlihat lemah dan hanya bisa berbaring hampir seharian di tempat tidur.
Ilham hanya membalasku dengan sebuah senyuman.
"Jangan berharap aku akan berbelas kasihan karena melihatmu terbaring tidak berdaya seperti ini. Sebaliknya, mungkin aku akan tertawa puas."
"Seperti biasa, mulutmu selalu pedas." Ilham menimpukku dengan bantal yang ada di samping tempat tidurnya. "Jangan galak-galak, nanti nggak ada laki-laki yang berani deketin kamu!"
Ia lalu mengaduh ketika kudaratkan sebuah cubitan di lengan bajunya.
"Bagaimana Sofi?" tanyaku tiba-tiba.
Ilham terdiam sejenak. "Baik." Matanya menatap langit-langit. "Dia memutuskan untuk pindah ke Cirebon."
"Tinggal di sana?"
Ilham mengangguk.
"Kamu sudah bisa merelakannya?"
"Sedikit demi sedikit, akan kucoba. Karena, aku tak bisa memaksakan diri untuk mempertahankannya tetap bersamaku."
Aku menghela napas berat. "Lalu, bagaimana rencanamu ke depan?"
"Melanjutkan hidup, seperti katamu."
Ilham kembali mengaduh setelah kudaratkan lagi cubitan.
"Maksudmu, dengan lembur terus-terusan?"
Ia terkekeh. "Kenapa kamu bisa tahu?"
Aku kembali mencubitnya.
"Besok-besok aku bisa masuk rumah sakit gara-gara cubitanmu." Ia merengut sambil meneliti bekas merah yang kutinggalkan di lengannya.
"Ya sudah, tinggal minta obat sama dokternya." jawabku cuek.
"Zahra," tiba-tiba nada suaranya berubah serius. "Apa kamu tidak berpikir untuk mencari laki-laki yang cocok dan segera menjalin hubungan serius dengannya?"
Aku terkesiap, tapi segera berusaha menguasai keadaan.
"Aku pikir sudah waktunya kamu memikirkan dirimu sendiri." Ilham menatapku. Aku merasa jengah.
"Kamu pikir aku tidak pernah memikirkan diriku sendiri?" Kupalingkan pandangan sekenanya.
--bersambung--
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Pasti Kembali [Completed]
General FictionRupanya Ibu memiliki tempat teramat istimewa di hati Ayah. Nyatanya, setahun setelah 'kepergian' Ibu, ia terlihat masih sangat terpukul. Tidak tega melihatnya lama terpuruk, Hana berinisiatif untuk mencarikan Ayah seorang pendamping. Berharap bisa m...