4. Monokrom (REVISI)

215 55 23
                                    

Dear diary

Hari demi hari telah ku lewati mungkin tidak setiap hari aku bahagia terkadang aku merindukan kawan lama dan keluarga yang ada di Medan. Kenapa aku rindu? Bukankah aku sendiri yang ingin kembali ke sini? Ya, memang aku yang minta pada orang tuaku agar kita kembali ke sini, tapi tetap saja saat di Medan merekalah yang menemani ke gelisahan ku dan menghiburku saat aku teringat kenanganku di Bandung. Sekarang aku sudah disini tidak ada lagi harus aku gelisahkan aku hanya perlu fokus pada masa depanku nanti saat akan lulus. Dan aku harap sahabat-sahabat ku akan selalu mengerti keadaan ku meskipun dihadapi rintangan yang bertubi tubi. Dan untuk Karin a.k.a Ririn aku harap kita akan bertemu lagi di lain waktu dan semoga itu adalah waktu yang tepat

- Nashwa Shafira -

"HEHH KEUR NAON SIAH." Seseorang tiba tiba masuk kedalam kamar Nashwa dan mengejutkannya.

"MAMA MOYONG! Ih Azaaaalll ngareuwaskeun wae!" keluh Nashwa dengan wajah lesu dan kesal.
(Ih Azaaall ngagetin aja!)

"HAHAHAHA! Lagi ngapain sih? Sibuk banget dah." Azalea mendekatkan kepalanya pada buku diary Nashwa untuk melihat tulisannya.

"Kepooo!" cibir Nashwa lalu menyembunyikan buku diary tersebut ke bawah, meja.

"Ih atuh naon ... jangan membuat hasrat kepo ku bergejolak," rengek Azalea dengan melipat tangan di depan dada.

"Diem ah! Sok sekarang kamu kenapa bisa ada di sini? Parkour hah? bisa manjat ke lantai enam," sembur Nashwa dan memundurkan tubuh Azalea.

"Gelo! Ya masuk weh atuh lewat pintu, tanya aja sama Mamah kamu!" Nashwa memicingkan matanya berusaha memastikan.

"Mah emang si Azalea masuk lewat pintu depan?" teriak Nashwa dari dalam kamarnya pada Dhini yang berada di ruang keluarga.

"Nya heeuh atuh Nashwa, manya lewat jandela!"
(Yaiyalah Nashwa, masa lewat jendela)

Mendengar seruan itu Azalea pun menggedikan dagunya sambik menyeringai kecil pada Nashwa. Sedangkan yang diseringai hanya memutar bola matanya malas.

"Sok atuh calik geulis! Emang teu cape?" ujar Nashwa mempersilakan Azalea duduk di kasurnya dengan cara yang tidak biasa.
(Duduk atuh cantik! Emang gak capek?)

Setelah melakukan pertengkaran kecil dengan Azalea, Nashwa beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah jendela kamarnya yang langsung mengarah ke luar dan menampilkan jalanan kota Bandung yang ramai.

"Zal," panggil Nashwa.

"Hmm." Azalea kini sedang merebahkan tubuhnya di kasur milik Nashwa, namun Nashwa tidak melihatnya.

"Menurut kamu ... Bandung itu apa sih?" Pertanyaan Nashwa itu sontak membuat Azalea melirik ke arahnya, Azalea terlihat berpikir namun akhirnya sebuah jawaban konyol muncuk di benaknya. Ia memejamkan matanya sejenak.

"Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu meli-"

"Serius, Zal," potong Nashwa masih dengan mata yang melihat ke arah luar jendela.

Azalea menghela napasnya, ia merentangkan tangannya di kasur dan membuka kakinya sedikit. "Bandung itu ... sesuatu, sesuatu ... yang indah." Nashwa menoleh ke arah Azalea dan mengangkat satu alisnya.

"Iya Wa, indah. 16 tahun yang lalu aku lahir di sini, dan 9 tahun lalu aku merasakan kebahagiaan tak terbendung di kota ini. Maksud kamu sebenernya apa, Wa? Mendeskripsikan kota Bandung itu tidak semudah yang orang lain kira. Iya gak mudah, kecuali mereka ke Bandung ikut kencing doang," tutur Azalea. Nashwa sedikit tersenyum, ia mengerti apa yang dirasakan Azalea. Ya, sama seperti dirinya.

Kisah di Bandung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang