Setel mulmednya ya, siapa tau damai beneran :)
Happy reading 💕
🎨🎨🎨
Alunan tersebut tersusun dengan sedemikian rupa. Pantas saja mampu menghasilkan nada yang berbeda. Aku yang biasanya tertusuk. Kini mampu menjabarkan arti sejuk.
🎨
Devan sudah berada di kamar. Cowok itu tengah menyelesaikan rangkuman sejarahnya. Ia menghela napas gusar, perasaannya tidak enak. Ada yang mengganjal. Ia berhenti menulis, cowok itu mengedarkan pandangannya. Fokusnya terpaku pada foto Leva. Di kamar Devan memang banyak sekali foto gadis itu.
Jangan Leva terus! Devan membatin.
Devan menutup buku sejarahnya, ia berniat untuk melanjutkan besok atau nanti jika ada waktu luang. Tangan kekar itu menurunkan buku-buku yang ada di dalam tasnya. Pertama, ia membuka buku catatan PPKn. Ia berniat untuk mengulang materi tadi di sekolah.
"Ck! Gue kenapa, sih?" Cowok itu membuka halaman paling akhir pada buku catatannya. Kebiasaan saat sedang tak fokus adalah mencorat-coret sesuatu. Kening Devan mengernyit, ada tulisan di sana. Devan hafal betul itu tulisan siapa.
Katanya, dulu akan selalu ada. Tetapi, nyatanya kamu tak bisa. Lain kali jangan berucap janji jika tak berniat menepati. Sekarang, aku cukup sadar diri :)
Tulisan tangan Leva. Ya, Devan tak mungkin salah. Yang jadi pertanyaannya, kenapa Leva menulis ini? Apa sikap Devan sudah keterlaluan? Ia berusaha tenang. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa Leva pasti baik-baik saja. Ayolah, Leva masih punya akal sehatnya.
"Gue gak bisa ngelak Lev, lo berpengaruh banget buat hidup gue."
Devan khawatir? Jawabannya iya. Leva adalah gadis manis yang harus ia jaga. Namun, sekarang saja keadaannya sudah berbeda. Dia sendiri yang memulai. Devan memijat pelipisnya, dia benar-benar cemas. Ingin datang ke rumah Leva, tetapi gengsi.
🎨
Pukul 01.00 Leva terbangun dari tidurnya, gadis itu menyalakan lampu kamar. Napas Leva masih tak beraturan. Ia memimpikan sang ayah lagi. Leva kangen, itu pasti. Gadis itu memeluk kedua lututnya yang ditekuk. Ia menenggelamkan wajahnya di sana.
Jika hanya begitu, ia tak akan tenang. Leva beranjak dari ranjang, kemudian berjalan menuju meja belajar. Lantas, ia membuka note book polos yang biasa ia kenakan untuk menggambar. Satu-satunya cara agar Leva tenang adalah menggambar atau melukis.
Ah iya, Leva tak pernah melukis di kanvas ketika sedang berada di rumah. Vina tak suka jika melihat Leva melukis, walaupun sebenarnya ia sering melakukan hal itu secara diam-diam, misalnya ketika Leva tengah berada di rumah Devan atau disaat seperti ini, melukis di sebuah buku kecil.
Air mata Leva turun ketika sketsa wajah ayahnya terpapar jelas di buku. "Kangen ayah," monolog Leva, lirih.
Leva menatap kursi yang berada di samping. Biasanya, Reno akan menemani Leva ketika sedang belajar. Ayahnya akan membuatkan susu jika Leva tak bisa fokus dengan mata pelajaran. Sudah menjadi history. Namun, Leva tak akan melupakan itu. Kenangan manis yang tak akan terulang kembali, karena pada kenyataannya, sang ayah sudah ... sudah ... Leva tak mau mengingat hal buruk itu lagi. Ia segera menepis, gadis itu menyeka air matanya yang masih berjatuhan.
"Ayah, maafin Leva, ya? Leva jadi cengeng banget setelah ditinggal sama ayah. Leva kangen ayah, Leva pengin ketemu ayah di sana. Di sini Leva cuma beban buat mamah, Devan, dan temen-temen Leva yang lain. Jahat banget, kan? Masa Leva bohongin temen Leva sendiri. Kata mereka Leva sempurna, padahal kan, gak gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Leva [Finished]
Teen FictionA Teenfiction by @Ivory_Lyra Leva? Gadis sempurna yang tak sesempurna kelihatannya.