[31] Ruangan Berirama

217 37 25
                                    

Terima kasih untuk yang masih mau membaca hehehehehehehehehehe.

🎨🎨🎨

Kepada nada yang menenangkan. Teruntuk irama yang menyejukkan. Atas dasar hati yang penasaran, aku hanya ingin menyampaikan. Tolong beri tahu aku, siapa yang sedang memainkan.

🎨

"Kak Raya, bukunya jatuh!" teriak Leva seraya mengambil buku bersampul merah milik kakak kelasnya itu. Ia menghampiri Raya yang sudah membalikkan tubuhnya. Leva menyodorkan buku tersebut.

"Harus banget lo apa, yang ngambilin?" Raya berdecak, ia belum mengambil buku yang masih Leva sodorkan.

Leva terkejut ketika buku Raya diambil paksa dari tangannya. Bukan Raya yang mengambil, tetapi Tiara. Leva mengernyitkan dahinya. Sejak kapan Tiara ada di sini?

"Biar gue jatuhin lagi," kata Tiara yang membuat bola mata Leva langsung membulat.

Prakk.

Tiara benar-benar menjatuhkan buku tersebut, lebih tepatnya, melempar. Leva hendak meraih kembali, namun tangannya ditahan oleh Tiara. Entah apa yang akan Tiara perbuat kali ini.

"Lo gak ada sopan-sopannya, ya, sama kakak kelas?!" teriak Raya.

"Berhubung tadi lo gak mau kalau buku lo diambil Leva, jadi, ya ... gue lempar aja. Biar tangan lo berfungsi, dan lo bisa ambil sendiri. Itu kan, yang lo mau?" maki Tiara.

"Lo sopan dikit, dong!" Wajah Raya memerah, matanya menyorot tajam ke arah Tiara, kedua tangannya mengepal di samping.

"Lo teriak-teriak gitu, emang sopan?" Tiara terkekeh melihat wajah Raya yang merah padam. Seru juga, pikirnya.

"Raaaa, udah," lerai Leva.

"Kak Raya yang terhormat, daripada lo buang-buang waktu lo, mending sekarang, lo pungut buku lo itu, ya!" Tiara menampakkan senyuman sinisnya.

"Biar aku yang ambilin, Kak," tukas Leva seraya menatap ke arah Raya sejenak.

"Enak aja, gak! Ke kelas aja, yuk." Tiara melenggang pergi bersama Leva.

Tiara ikut menghentikan langkahnya ketika langkah Leva terhenti. Leva terdiam cukup lama, indra pendengarannya menangkap tekanan tuts piano yang mendamaikan. Tak sadar, senyum Leva terangkat sebelum akhirnya, ia tersadar. Oh, iya, tadi kan disuruh ke ruang musik.

"Kenapa, Lev?" tanya Tiara yang masih menggendong tas.

"Gak papa, kamu ke kelas dulu aja, ya? Aku harus ke ruang musik dulu, disuruh ambil buku presensi eskul sama Bu Harmony." Leva tak berbohong, gadis itu memang akan mengambil buku presensi eskul musik.

"Okelah," pungkas Tiara.

Alunan piano itu masih terdengar. Leva ragu untuk melanjutkan langkahnya. Setelah mempertimbangkan risiko, Leva menggeser pintu ruang musik. Setelahnya, Leva melihat punggung seorang cowok yang tengah memainkan piano.

Pundak Leva merosot, matanya menyipit tak percaya. Leva menarik senyumnya, lebar. Pelan, ia mendekati sang pemain, untuk memastikan dugaannya. Makin dekat, ia makin yakin.

"Dev ...." Air matanya lolos secara bersamaan dengan lontaran kata yang baru saja diucapkan. Ia membeku di tempat ketika melihat sang pemain menghadap ke arahnya. Benar-benar Devan, kan? batinnya.

Leva dapat melihat Devan yang tengah mendekat ke arahnya. Gadis itu masih terdiam di tempat, kakinya tak kuasa untuk bergerak. Bibirnya masih mengatup rapat, tetapi air matanya masih mengalir. Entah karena apa Leva menangis, yang jelas, kini perasaannya sedang campur aduk.

Leva [Finished] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang