(Bertemu dengan salah satu Peterpan-ku)
Selama dua minggu ini, gue mempersiapkan event ini bareng rekan gue semuanya dan sejujurnya, acaranya cukup menguras tenaga beneran. Gue akhirnya nggak bisa nggak menyimpulkan kalau ini adalah event terbesar yang pernah gue pegang. Sebelumnya memang pernah ada beberapa artis lokal yang kesini. Ah, itu saja sudah cukup membuat beberapa kehebohan dan gue harus lembur hampir setiap malam.
Nah, bayangin kondisi itu terjadi dua kali lipat. Karena ini konteksnya bukan artis lokal yang mungkin akan lebih bisa kita ajak kerjasama, pun juga nggak mengalami kesulitan soal bahasa. Nah, yang satu ini... cukup menguras pikiran dan tenaga karena kehadirannya akan membutuhkan kedirian gue seutuhnya mengingat kata-kata Bu Nuni itu memang benar, yang menguasai bahasa Mandarin cuma gue.
Gue nggak menyalahkan kondisi. Untuk lembaga sosial tempat gue bekerja ini memang semua rekan kerja dan atasan adalah muslim. Wajar, karena memang pendirinya adalah salah satu pemuka agama Islam terkemuka. Namun dalam perkembangannya, beliau yang memiliki sebuah pemandangan terbuka dan toleransi yang sangat tinggi, tidak hanya menerima kerjasama dari muslim saja, melainkan meluaskan bidang bantuan ini menjadi lebih merangkul banyak pihak.
Awalnya dicibir dan dihujat, ah tapi pada kenyataannya justru banyak yang simpati dan bahkan malah semakin kepo. Bahkan beberapa keluarga yang kita bantu akhirnya menjadi lebih ingin tahu tentang ajaran agama kita dan akhirnya banyak yang memeluk juga. Ah sungguh, target utamanya bukan itu. Kami hanya ingin membantu orang yang benar-benar membutuhkan, karena kalian tahu sendiri kan kalau pemerintah itu nggak bisa menjangkau semua keluarga miskin dan anak-anak putus sekolah meskipun ada dana BOS.
Maka dari itulah rekan kerja gue banyak yang berasal dari sekolah tinggi Islam dan ber-background relijius. Mereka memang nggak bisa berbahasa Mandarin atau Jepang kayak gue, tapi untuk urusan bahasa Arab, mereka jagonya. Ah, tapi itu masih belum berfungsi sampai sekarang, soalnya kebanyakan talent yang kerjasama dengan kita masih sebatas public figure lokal dan juga dari negara-negara tetangga saja. Paling jauh ya dari Jepang dan kali ini Cina.
"Mbak Anna? Lo tidur sekre lagi?" tanya Alif, sahabat gue yang umurnya masih dibawah gue. Meskipun kita adalah senior-junior, tapi kita udah kayak temen deket banget karena kita juga berasal dari kota dan kampus yang sama. Ah, dia juga punya panggilan yang berbeda untuk gue dibanding temen gue lainnya.
Gue yang lagi nyeduh kopi akhirnya nguap sambil ngangguk buat ngejawab pertanyaan dia.
"Udah seminggu lo nggak pulang, Mbak. Nggak papa nih, kosan-nya ditinggalin?"
"Kosan gue nggak punya kaki, Lif. Nggak bakalan berpindah."
"Yaelah, gue serius ini."
"Kosan gue mah aman, Lif. Nggak bakalan kenapa-kenapa kok. Lo tahu sendiri, kan?"
"Susu siapa, nih?" tanyanya sambil menunjuk segelas susu hangat yang ada di mejanya, tak jauh dari dispenser tempat gue nyeduh kopi. Gue emang sengaja bikinin dia karena gua tahu kebiasaannya dia yang bakalan datang paling pagi.
Gue pun berjalan mendekati meja gue yang persis ada di depan mejanya.
"Mbak? Susu siapa ini?" tanyanya sekali lagi sambil menunjuk ke gelas.
"Susu gue." Jawab gue.
Dia meringis. "Ambigu seambigu-ambigunya, Lo Mbak."
"Otak lo yang ambigu!" gue nyerocos sambil menyeruput satu tegukan kopi. "Gue yang bikin susu itu buat lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
the Dream of a Fangirl (Semi Hiatus)
Fanfiction"Ngapain sih suka sama member boy group yang nggak pernah perform sama grupnya sendiri?" "Pengkhianat kayak dia tuh nggak cocok bareng sama grupnya lagi!" "Sesuka-sukanya lo sama dia, lo hidup aja dia nggak tahu!" Ini hanyalah sekelumit kisah antara...