"Seorang pahlawan adalah orang biasa yang menemukan kekuatan untuk menyemangati orang lain dan menjadikan mereka gigih, meskipun berhadapan dengan rintangan yang berat."
(Christopher Reeve)
Erina terbangun dengan keringat yang membasahi wajahnya. Napasnya tersengal. Ia baru tidur tak sampai sejam sebelumnya, namun sudah kembali terbangun. Bayangan api besar dan asap putih pekat yang mengepungnya seolah membuatnya sesak kembali. Ada rasa sakit di dadanya yang meminta untuk diangkat, namun Erina tak tahu harus kemana ia akan mencari seseorang untuk membantunya mengangkatnya.
Ia kemudian terbatuk. Berkali-kali.
Lengannya terjulur ke nakas, namun air mineral di tumbler satu liter itu telah tandas. Ia pun akhirnya berdiri. Sempat melenguh karena rasa sakit kembali menyapa telapak kakinya yang ia pakai untuk menapak.
Luka goresan di kakinya itu lebih dalam dari yang ia duga. Ia sempat melihat dagingnya sampai terlihat dari luar. Entah benda apa yang diinjaknya dengan kaki telanjang saat ia melarikan diri. Yang jelas, rasa sakitnya betul-betul terasa.
Dalam kondisi normal, mungkin besok ia akan menerima jahitan.
Meskipun sakitnya sangat terasa, ia memaksakan dirinya untuk tetap berjalan tertatih. Dirinya kembali terbatuk, sehingga motivasinya semakin kuat untuk segera mengambil minum. Bagaimana pun juga, ia tidak ingin mati dalam keadaan tercekik lagi.
Tidak.
Dengan kebulatan tekad yang sangat penuh, ia pun akhirnya keluar dari kamarnya. Tidak, ia tidak ingin membangunkan Alif. Lelaki itu sudah lebih dari cukup membantunya dengan segala apa yang ia mampu. Biarlah dia istirahat setelah membantu menyelamatkannya tadi.
"Na! Ya ampun!" Alif segera berlari ke arah Erina yang masih merambat di tembok itu.
Erina menggigit bibirnya, sebagai bagian dari dirinya yang menahan rasa sakit, sambil merupakan ekspresi bersalahnya karena ia membuat Alif tak sengaja terbangun karena saat ia merambat di tangga, ia sempat menimbulkan sedikit bunyi karena pegangan tangganya terbuat dari logam.
Alif langsung menuntun Erina dengan telaten.
"Tinggal bilang, Na. Aku stand by."
"Aku nggak mau bangunin kamu tidur, Lif."
"Aku aja masih belum tidur."
"Loh? Kenapa?"
"Khawatirin kamu. Takut kamu butuh sesuatu."
Mereka masih terus berjalan menuruni tangga. Ini sih emang kalau kondisinya kayak gini, Alif udah nyesel beli rumah yang kamar utamanya di atas semuanya. Di bawah cuman ada kamar yang lebih kecil, yang sebenarnya arahnya adalah untuk asisten rumah tangga.
"Aku udah banyak ngerepotin kamu."
"Nggak ada yang direpotin."
"Tapi—"
"Sssh. Sekarang kita ambil minum kamu dulu, itu suara udah kayak kodok keselek biji kedondong."
Erina speechless. Mau kesal tapi ni orang udah berjasa banget hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
the Dream of a Fangirl (Semi Hiatus)
Fanfiction"Ngapain sih suka sama member boy group yang nggak pernah perform sama grupnya sendiri?" "Pengkhianat kayak dia tuh nggak cocok bareng sama grupnya lagi!" "Sesuka-sukanya lo sama dia, lo hidup aja dia nggak tahu!" Ini hanyalah sekelumit kisah antara...