9

78 12 1
                                    

Alarm di handphone Jesi berbunyi. Tangannya meraba- raba mencari arah suara di meja kecil yang terletak di sebelah kasurnya. Matanya mengerjap beberapa kali sampai akhirnya ia menemukan handphone nya dan berhasil mematikan alarm. Jesi memandang ke sekeliling kamar, kedua mata Jesi menyipit melihat cahaya matahari yang menembus masuk melalui sela- sela horden.

Ia memaksa tubuhnya untuk duduk dan kemudian menemukan Brian tengah duduk di kursi belajar.

"Lo semaleman duduk disitu?" suara Jesi masih sangat terdengar serak, tangannya dengan kasar mengucek beberapa kali mata yang masih terasa berat.

"Pagi" Brian tersenyum.

"Ih apaan sih lo, geli gue" Jesi merentangkan tangan dan kakinya.

"Pagi- pagi amat lo bangun?" Tanya Brian yang masih terduduk di kursi.

"Gue ada kuliah. Jatah absen gue udah tipis gue pakai kemarin buat recovery di rumah sakit" Jesi kemudian melangkahkan kakinya menuju dapur kecil dan merebus air panas serta membuat roti panggang.

"Lo mau? Gue bikinin sekalian kalau mau" Jesi berkacak pinggang dengan malas.

"Kalau di tanya mau apa engga ya jelas mau, cuma kan gue juga ga butuh makan dan gabisa makan?" Brian mengangkat pundak kanannya.

"Btw lo kuliah dimana sih emang?"

Jesi menuangkan air panas kedalam cangkir yang berisi bubuk kopi. Aroma kopi kemudian ikut menyeruak ke seluruh ruangan setelahnya.

"Ikut aja, ntar lo juga tau" Jesi menggigit roti yang baru saja matang dari pemanggang kemudian berjalan menuju kasur dan duduk di lantai.

"ehh kok di lantai sih, disini aja" Brian secara otomatis bangkit dari kursi.

Jesi menggeleng sambil menggigit roti di mulutnya.

"Engga, kalau sarapan emang gue biasa duduk di bawah gini, kalau bercecer gampang bersihinnya"

Brian yang mendengar hal itu kemudian ikut duduk di lantai bersama dengan Jesi.

"Bri, kalau ga makan, ga mandi, lo tadi tidur ga?" ucap Jesi sambil mengunyah roti.

Brian menggeleng.

"Ga tidur juga tuh gimana rasanya deh?" Jesi bertanya sembari menyecap kopi panas dari cangkirnya.

"Kaya apa ya...." Brian berfikir dan menggaruk ujung hidungnya.

"Ya ga kaya apa- apa sih, kaya biasa aja." Ia bingung menjawab pertanyan Jesi tersebut.

Namun memang, Brian tidak merasakan apapun. Hanya, ya begini saja. Layaknya pada waktu hidup sebelumnya. Bedanya memang dia tidak perlu lagi makan, mandi maupun hal- hal yang biasanya manusia perlukan laiinya.

"Yaudah deh, gue mandi dulu. Jangan ngintip lo" Jesi beranjak dan membawa cangkir kosong tersebut dan meletakkannya di bak pencucian piring, meninggalkan Brian yangh terkekeh geli di lantai.

Setelah bersiap- siap Jesi kemudian meninggalkan apartment nya dan berjalan menuju stasiun MRT terdekat. Ya tentu saja Jesi masih tidak mau mengenakan bus untuk transportasi kemanapun ia pergi. Masih ada rasa cemas dan trauma yang mengikutinya. Pagi itu stasiun MRT terlihat sudah lumayan ramai, para pekerja dan beberapa siswa sudah rapi berjajar menunggu kereta datang.

Jesi memasang earphone dan memutar lagu sembari menunggu kereta datang tanpa memperdulikan Brian yang juga turut berdiri di sampingnya.

"De javu gue" ucap Brian pelan.

Suara pengumuman kereta berkumandang membuat para calon penumpang bersiap dan berdiri mendekat ke arah pintu masuk. Tak lama kereta telah berhenti dan pintu mulai di buka, penumpang yang turun cukup berjubel. Beberapa saat setelah gerbong dirasa sudah agak kosong, setelahnya giliran penumpang masuk ke kereta yang membuat Jesi tergencet kanan dan kiri.

"Aduh anjir, rusuk gue" ucap Jesi sembari meletakkan tangannya di depan dada untuk melindungi rusuknya yang kemarin retak. Tak lama, ia bisa masuk dan berdiri di dekat pintu berpegangan pada gantungan tangan yang tersedia disana.

Brian tertunduk. Ia merasa sangat tidak berguna melihat Jesi kesakitan saat tergencet orang- orang yang berebut masuk ke dalam kereta. Seharusnya, ia bisa menahan orang- orang agar tidak dengan sembarangan menubruk ke arah Jesi.

Jesi yang melihat Brian dengan wajah dilipat didepannya kemudain bertanya dengan anggukan pelan dan sorot mata yang menggambarkan pertanyaan "lo kenapa?"

Brian hanya tersenyum simpul dan menggeleng. Di balas oleh Jesi dengan gelengan ringan juga dan kemudian kembali sibuk dengan musik yang ia dengarkan.

"Harusnya gue bisa ngejagain lo, Jes." Bisiknya pelan.

Pengumuman kereta berhenti di stasiun selanjutnya kembali berkumandang yang diikuti dengan kereta yang berhenti setelah melewati 4 stasiun.

Jesi melepas salah satu earphone nya dan memandang Brian kemudain memberikan isyarat untuk turun. Brian Nampak familier dengan jalan yang di tempuh hingga menuju ke Kampus.

"Loh lo juga kuliah disini?" Brian menghentikan langkahnya.

"Juga?" Jesi ikut menghentikan langkahnya dan melepaskan earphone nya.

"Maksudnya?" lanjut Jesi.

Brian berjalan duluan meninggalkan Jesi yang masih berdiri di belakangnya.

"Gue juga kuliah disini elah. Lo emang jurusan apa?" Brian membalikkan tubuhnya.

Jesi berjalan kecil mengejar langkah Brian "Komunikasi"

"Serius?" tanya Brian.

"Lo harusnya kenal Jae dong? Dia salah satu anak band gue" pandangan Brian masih berkelana menyusuri kampus yang tengah ramai oleh mahasiswa.

"Dia biasanya nyiarin radio fakultas"

Jesi hanya mengangkat bahunya. "Gue cuma pernah denger siarannya aja, tapi gatau orangnya yang mana"

"Lo emang jurusan apa Bri?"

"Administrasi Bisnis, bareng Bob sama Wonpil. Cuma beda angkatan"

Brian memperlambat langkahnya agar sejeajar dengan Jesi.

"Ada satu lagi namanya Dowoon, tapi gue manggilnya Doun, dia anak Interior"

Jesi hanya mengangguk.

"Lo berarti belum pernah liat kita manggung ya kalau ga tau siapa- siapa aja temen gue ini?" Brian meletakkan kedua tangannya di saku celananya.

"Padahal mereka terkenal banyak fans nya loh"

Jesi menoleh "Lo juga?"

Brian tertawa kecil seolah menolak untuk menyombongkan diri "short of"

Jesi memutar keuda matanya seolah malas mendengar Brian yang sedang menyombongkan diri. Mereka berdua berjalan melewati gedung dimana Brian berkuliah dulu. Di depan pintu masuknya, terdapat ucapan bela sungkawa bertuliskan nama Brian Kang.

"Gue kesitu dulu bentar ya, lo duluan aja" Brian meninggalkan Jesi dan berjalan menuju gedung yang kini Nampak sedikit lowong. Ia mendatangi lokernya yang kini penuh dengan karangan bunga dan ucapan bela sungkawa. Tak luput foto dirinya terpasang disana. Brian menyentuh satu persatu bunga tersebut, masih sangat segar. Sepertinya ada yang setiap hari menggantinya.

Dari arah belakang ia berdiri terdengar suara langkah mendekat. Saat Brian membalikkan tubuhnya, terlihat Doun yang membawa bunga mawar putih di tangannya berjalan seorang diri.

"Doun. Makasih banyak ya lo udah selalu inget abang" bisik Brian di telinga Doun.

Doun kemudian menggerakkan pundaknya, merasakan ada angin yang menerpa telinganya. Setelah menggosok telinganya beberapa kali, ia meletakkan mawar di loker Brian dan kemudian menungkupkan tangannya untuk berdoa.

"Gue kangen bang" tangan Doun mengelus foto Brian.

"Gue juga kangen lo, kangen anak- anak. Banget"

The Ghost of You | YoungK Of Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang