8

89 12 0
                                    

Jalanan yang masih di guyur hujan rintik- rintik masih mengiringi ketika mereka melaluinya hingga waktu mereka sampai di apartment sewaan milik Jesi. Tidak terlalu besar maupun mewah, namun cukup nyaman untuk di tempati. Ada 12 lantai dan 2 gedung yang berdiri bersebelahan dengan cat gedung berwarna krem muda. Terdapat beberapa pohon yang cukup rindang dan pos jaga satpam yang ada di depan gerbang masuk apartment tersebut.

"Terima kasih pak" Jesi membungkukkan tubuhnya untuk membayar biaya taxi yang ditumpangi.

Kendaraan roda empat tersebut tak berapa lama akhirnya meninggalkan Jesi, Ibunya dan Brian yang kini tengah melangkah memasuki pos satpam yang ada di bagian terluar apartment.

"Sore pak" sapa Jesi pada satpam dengan perut buncit yang tengah berjaga.

Satpam itu memicingkan matanya seolah tidak melihat dengan jelas siapa yang memanggilnya.

"Eh, Jesi, Ibu" ucapnya bergantian menyapa Jesi dan ibunya. Dan di balas senyuman ringan dari ibu Jesi.

"Kok lama ga kelihatan? Habis mudik ya?"

Jesi tertawa kecil, "Iya nih pak. Saya duluan ya?"

Satpam itu mengangguk dan melambaikan tangannya dan melanjutkan langkah untuk masuk ke dalam gedung.

"Kok lo bohong? Kenapa ga bilang dari rumah sakit aja?" Brian yang masih berjalan mengikuti Jesi di sebelahnya.

Jesi hanya mengarahkan telunjuk di depan bibirnya. Meminta Brian untuk tidak banyak berbicara.

Brian mengatupkan bibirnya dan kemudian kembali berjalan tanpa suara di sebelah Jesi.

Jesi memencet tombol naik dan berdiri di depan lift.

"Kamu serius ga apa- apa nanti ditinggal ibu?" tanya Ibu Jesi untuk meyakinkan sekali lagi.

Jesi meletakkan kepalanya di pundak ibunya, "serius ga apa- apa bu, Jesi sudah sehat kok".

Ia menggerak- gerakkan pergelangan tangannya dengan gerakan memutar dan tersenyum. Berusaha membuktikan kepada ibunya bahwa dia sudah cukup sehat untuk ditinggalkan sendiri.

"Yasudah, Ibu numpang mandi dulu sebelum pulang"

Lift telah tiba dan pintu besi itu terbuka. Terlihat ada beberapa orang yang keluar dari dalamnya. Kemudian bergantian dengan Jesi dan Ibunya dan tentu saja Brian yang masuk. Jesi menekan tombol yang menunjukkan angka 7.

Tak lama setelah naik, pintu lift terbuka. Terlihat lorong dengan beberapa kamar yang tertutup dan nomor kamar yang jelas tertera. Mereka berjalan ke arah lorong kanan dan menuju pada kamar 717. Jesi memencetkan password dari pintu kamarnya dan membuka pintu.

Kamar Jesi tidak terlalu besar. Namun cukup untuk menampung 1 hingga 2 orang di dalamnya. Sudah terdapat tempat mencuci piring, mesin pencuci baju, kompor, 1 kasur queen size yang di balut dengan kain berwarna abu- abu. Di dinding dan meja yang berada di dekat kasur terdapat beberapa sketsa milik Jesi. Brian memutuskan berjalan berkeliling dan memandangi satu- persatu sketsa gambar yang terlihat oleh matanya.

"Sumpah Jes, keren." Tangan Brian memegang salah satu sketsa yang tergantung di dinding. Disitu ia melihat gambar seorang nenek yang tengah duduk di kursi roda dengan anak perempuan yang sedang sibuk memberi makan merpati di pinggir kolam kota.

Jesi hanya tersenyum. Tangannya sibuk meletakkan semua barang- barang yang tadi ia bawa ke samping kasurnya.

"Lo kayanya bisa deh bikin mini exhibiton dari hasil karya lo ini." Kini Brian sudah duduk di kursi belajar Jesi.

Jesi menatap sekitar, mencari keberadaan ibunya yang kini telah memasuki kamar mandi.

"hahaha ngasal lo, karya gue mah belom ada apa- apanya" Jesi semi berbisik.

"Harusnya lo tuh, yang bikin pameran dari hasil karya fotografi lo".

"Gimana kalau nanti kita collab aja?" Brian tertawa setelah mengucapkan ide asalnya itu.

Jesi terdiam menatap dalam mata Brian yang tengah tertawa di hadapannya.

"Lo kalau ketawa kenapa lucu sih Bri?" ucap Jesi secara tiba- tiba membuat Brian menghentikan tawanya dan menutup mulut dengan tangannya.

"a...apa sih lo, kok tiba- tiba" Brian salah tingkah mendengar ucapan Jesi barusan.

Kali ini giliran Jesi yang tertawa terbahak- bahak, "apa sih lo, gitu aja salting. Norak lo"

"Ya abis lo tiba- tiba banget, ibarat lagi mau perang eh ada serangan mendadak sebelom gue punya strategi"

Jesi melemparkan bantal ke arah Brian yang tentu saja malah menghantam senderan kursi "apaan banget sih lo, alay tau ga"

"Tapi beneran, senyum lo tu bagus, Bri." Jesi kembali menatap Brian dan tersenyum. Di tatapnya lekat kedua mata Brian.

"Lo kalau ketawa, mata lo ikut ketawa. Gue ga pernah liat ada orang yang kaya gitu"

Jesi tersenyum. Brian kembali salah tingkah melihat Jesi yang tengah mengamatinya.

"Ah udah ah jangan gitu lo" Brian memilih mengambil langkah untuk menghilang sejenak dari panangan Jesi. Kini ia sedang berdiri di sebelah pohon di bawah apart Jesi, ia merasa perlu kabur karena sikap Jesi yang betul- betul dapat membuatnya mati gaya.

Brian menyentuh dadanya dan menghembuskan nafasnya kasar.

"Lah iya ngapain gue cek detak jantung, orang udah kaga ada" namun entah perasaan apa yang membuatnya menjadi salah tingkah seperti itu. Brian tidak bisa menjelaskannya. Namun ia ikut tersenyum setelahnya.

"Gila ni cewek ya"

Ia menenangkan dirinya beberapa saat dan kemudian memutuskan untuk kembali masuk ke kamar Jesi.

"Loh ibu lo mana?" Tanya Brian tiba- tiba yang mengejutkan Jesi yang tengah merebahkan diri di kasurnya.

"Udah balik tadi, ga ketemu lo?" Jesi masih menatap langit- langit kamarnya.

"Kok ga lo anterin ke bawah?" Brian duduk di sebelah Jesi yang masih merebahkan diri.

"Ga mau, katanya biar gue istirahat aja"

Suasana hening untuk beberapa saat. Masing- masing larut dalam pikirannya masing- masing. Brian yang tentu saja masih memikirkan ucapan Jesi tadi, yang kemudian merasa aneh karena Jesi pun bersikap seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya. Brian menggelengkan kepalanya kasar.

"Kenapa lo?" Jesi sudah mengubah posisinya menjadi duduk bersandar pada kayu penyangga kasurnya.

Brian menggeleng keras. "engga".

"Bri, kalau lo gue cium gimana deh? Bakal nembus juga gitu?" Jesi tiba- tiba sudah mendekatkan wajahnya ke depan wajah Brian yang tentu saja lagi- lagi membuat Brian tak habis pikir dengan isi otak perempuan yang ada di hadapannya ini.

Brian menepuk jidat Jesi dan kemudian mengubah posisi duduknya sedikit menjauh dari Jesi.

"Lo kenapa sih? Lo ga habis kepentok kan?" Brian panik.

"Engga kok, gue kepo aja" Jesi berdiri dan membuka laci meja belajarnya. Mengeluarkan 1 pak rokok dan pemantik kemudian berjalan menuju balkon.

"Lo ngerokok?" Brian ikut keluar menuju balkon.

Jesi memantikkan korek api gas dan menutup sisi depan agar apinya tidak mati tertiup angin kemudian menyesap dan menghembuskan asap ke arah udara lepas.

"Iya" jawabnya singkat.

"Jangan sering- sering"

Jesi melirik wajah Brian dari posisi ia duduk "ciye perhatian amat sih"

"Dah gila gue" Brian menoyor ringan kepala Jesi dan kembali masuk ke dalam.

"Ih gue jadi seneng godain lo deh kalo lo nya begini" teriak Jesi dari balkon.

Brian yang merebahkan diri di atas kasur hanya menimpali seadanya.

"Serah lo dah Jes"

Kemudian Brian menutup matanya dan kembali memegang dadanya, ia seperti merasakan ada detak yang kencang namun pada kenyataanya hal itu adalah nihil.

"Beneran bisa gila gue lama- lama Jes" Brian tersenyum pada dirinya sendiri.

The Ghost of You | YoungK Of Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang