Brian menatap sedih orang yang sedang duduk di hadapannya. Tatapan mata orang itu kosong. Ia hanya memainkan sendok yang ada di piring berisi nasi dan lauk di atasnya. Meskipun di meja sebelahnya ada orang yang duduk dan bercengkrama, sesekali ada yang menyesap rokok dan menghembuskan asapnya ke udara, ditambah suasana kantin kampus yang cukup ramai diisi oleh anak- anak yang sedang bersantap siang.
" Aduk aja terus sampe nasi lo jadi bubur" terlihat Wonpil yang membawa piring berisikan ayam dan segelas es jeruk di tangannya hendak duduk di depan Doun yang sedari tadi melamun.
" Eh Pil, liat- liat dong lo" Brian menatap Wonpil sinis.
Belum sempat ia bergeser, Wonpil sudah duduk di atasnya.
" Lah iya gue lupa" tangan Brian menempeleng kepala Wonpil yang tentu saja tidak memberikan dampak apapun lalu berpindah duduk di ujung kursi panjang.
Doun terbangun dari lamunannya, " eh bang, kapan dateng?" tanyanya basa- basi.
Wonpil menghela nafasnya dalam dan kemudian menatap Doun dengan raut wajah yang cukup serius.
" Lo mau sampai kapan kaya gini sih?"
Doun hanya terdiam. Sudah hampir sebulan sejak kejadian yang menimpa Brian, namun Doun tetap masih belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Baginya, ia lah yang memiliki peran paling besar hingga membuat Brian kehilangan nyawanya. Itulah pikiran yang selalu ada di pikiran Doun hingga saat ini. Kantong matanya mulai menghitam dan bahkan memiliki kantung di dalam kantung. Pandangannya selalu kosong dan bahkan tidak ada sedikit pun konsentrasi yang di temukan dalam diri Doun. Tubuhnya mulai kering karena tidak ada asupan nutrisi cukup yang masuk.
" Lo mau gue temenin ke Pskiater aja?" Wonpil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya kali ini.
" Keadaan lo udah beneran so fucked up man".
Doun masih diam. Hanya ada sedikit lengkungan senyum diujung bibir nya. Tentu saja yang ia paksakan untuk muncul.
" Kalau lo bisa tau, gue sama sekali ga marah atas kejadian ini. Gue ga tau kalau kejadian ini juga sampe bikin lo kaya gini" tangan Brian menepuk punggung tangan Doun.
" Gimana cara gue buat nyampein ke lo bahwa gue baik- baik aja?"
" I mean, setidaknya lo ga perlu harus merasa bersalah sampe segininya Don"
Sorot wajah Brian betul- betul menyiratkan kesedihan, merasakan apa yang sedang di rasakan oleh adik kesayangan di band mereka itu. Kejadian yang membuat seorang Yoon Dowoon si selalu ceria menjadi anak yang murung semendung awan menjelang hujan begini.
" Nanti ikut kan ke apart Bang Jae?" Wonpil memecah keheningan yang terbentuk di meja itu.
Doun hanya mengangkat pundaknya.
" Ikut aja, nanti bareng gue. Gue kelar kelas paling 1 jam doing lah. Dosennya kaga demen ngajar lama- lama".
" Gue juga ikut dong" Brian melambungkan senyumnya di depan wajah Wonpil.
Handphone Wonpil dan Doun bergetar bersahutan. Ada pesan yang sama masuk ke notifikasi mereka masing- masing, hanya milik Wonpil sedikit menerima lebih akhir karena sinyal mungkin.
Jae
Nanti jadi kan pada ke tempat gue?
Bob
Siapin makanan bisa kali.
hahahahaha
Doun sama Wonpil gimana?
Jae
Ini lo di sebelah gue lagi makan apa setan?!
Bob
Hahahaha santai sih pak
Wonpil
Gue nyusul bang, ada kelas dulu
Tapi bentar lagi kelar ni, cuma diminta absen doang sama tugas
Nanti Doun sama gue sekalian
" Gue kalau makan hamburger kaya gini ingetnya sama Brian deh." Bob meneguk cola di gelas plastik yang di sediakan oleh Jae.
Jae yang sedang fokus pada laptopnya kemudian mengalihkan pandangan pada Bob yang sedang menikmati burger yang tadi di order.
" Sama, biasanya dia sampe pesen 3 buat di makan sendiri, sekarang semua orang porsinya makannya normal."
" Ga ada lagi yang gue marah- marahin karna makannya terlalu banyak." Jae tersenyum kecut. Matanya seolah mengingat kembali semua kejadian- kejadian lalu saat mereka berkumpul.
Dimana Brian pasti makan dengan porsi yang paling besar dan tak lama setelahnya dia akan tertidur di manapun. Entah di sofa, di kasur, tidur sambil duduk, bahkan di lantai tanpa alas pun.
Suasana kembali hening, Jae yang kembali sibuk dengan laptopnya, Bob yang kini sudah beralih pada gitar Jae tengah melantunkan lagu yang asal ia mainkan. Mereka sibuk dengan urusan masing- masing yang mana tak terasa sudah 45 menit berlalu.
Ting.... Ting.....
Suara bel berdering dari pintu apart Jae yang kemudian diikuti dengan Jae yang beranjak dari kursinya dan membukakan pintu. Terlihat Wonpil dan Doun berdiri di depannya. Sebetulnya ada Brian yang ikut berdiri di sebelah mereka, namun ya tentu saja, tidak terlihat.
" Ya tuhanku, burger favorit gue" Brian yang langsung nyelonong masuk kini sudah berjongkok di depan meja makan dan membuat ekspresi wajah seolah menangis melihat tumpukan burger kesukaannya di hadapannya.
" Kenapa ya tuhan" tangan Brian menyentuh satu persatu bungkusan tersebut tanpa bisa memakannya.
" Masuk sono, noh makan dulu ada burger" Wonpil dan Doun masuk ke dalam dan Jae menutup pintu dan menunjuk ke meja makan yang penuh dengan bungkusan plastik.
" Ga deh bang, ntar aja. Gue masih kenyang tadi udah makan di kantin" jawab Wonpil singkat.
" Jatah lo buat gue aja Pil, ya tuhan" Brian merengek di sebelah Wonpil.
" Lo tuh makan, dari tadi di kantin cuma diaduk- aduk doang itu nasi"
Wonpil mendorong sedikit punggung Doun untuk mendekat ke arah tumpukan Burger, kentang dan minuman di meja makan.
" Nanti aja bang" jawab Doun singkat. Ia kemudian duduk di sofa.
Brian menggoyang- goyangkan tubuh Doun, " buat abang aja deh ya kalau gitu" kakinya ia hentak- hentakkan seolah merajuk pada Doun.
" Eh tapi jangan, kasian tadi lo beneran belum makan sih." Brian menekuk bibirnya.
Bob melihat Doun kemudian mengubah posisi duduknya dan berpindah ke sebelah Doun.
" Lo tuh, masih merasa bersalah banget ya sampe lo kaya gini?" Bob menatap salah satu temannya tersebut dengan tatapan paling teduh agar ia tidak merasa diintimidasi.
Doun lagi- lagi hanya diam.
" Tunggu ya Don, abang pasti cari cara biar lo ga harus kaya gini. Lo ga seharusnya merasa terlalu bersalah sampe kaya gini." ucap Brian sambil berjongkok di depan Bob dan Doun.
" Bentar, kayanya gue tau harus gimana".
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ghost of You | YoungK Of Day6
FanficNever thought that met you was brought me death and happiness at the same time.