Chapter 5

120 14 0
                                    

Luna masih belum percaya pendapat dari Candra. Tidak mungkin Dirga yang meninggalkan roti dan air untuknya. Dirga sama sekali tidak mengenalnya. Bagaimana bisa Dirga membeli roti isi keju ? Bukan coklat atau rasa lainnya ? Luna berpikir keras sejak tadi namun belum menemukan jawaban yang tepat.

“Kalo nggak masuk akal, anggap aja bukan dari kak Dirga.” sahut Candra menyerahkan helm.

Dengan malas Luna menyambar helmnya. “Ini semua salah lo tau nggak!”

Bukannya balas marah, Candra malah menoyor kepala Luna dengan jari telunjuknya.

“Eh! Gue bukan pacar lu yah, jangan harap gue mau ngalah karena lo cewek.” balas Candra kemudian menarik Luna untuk segera naik ke motor maticnya.

Masih dengan ujung bibir yang ditekuk ke bawah, Luna memasang helm lalu duduk menyamping di atas motor. Tepat saat itu pula, motor Dirga berhenti tepat di sampingnya. Pandangan mereka bertemu dan terkunci beberapa detik.

“Kak Dirga.”

Sapaan Candra mengalihkan pandangan Luna. Sekarang pipinya terasa terbakar, Luna berusaha mati-matian untuk tidak menoleh lagi.

“Luna boleh pulang bareng gue nggak ?”

Kepala Luna secara otomatis bergerak cepat mencari orang yang mengajukan pertanyaan barusan. Apa katanya ?

“Oh, boleh banget kak.” jawab Candra semangat.

Luna yang masih diam menggerakkan tangannya perlahan menuju sisi kanan perut Candra. Dan tentu saja mencubitnya sekeras mungkin.

“Argghh! Lun, sakit.” desis Candra menepis tangan Luna.

Dengan berat hati, Luna turun dari motor dan menatap Candra berapi-api. Luna kesal karena Candra selalu mengambil langkah tanpa persetujuannya. Sekarang laki-laki itu hanya tersenyum lalu melaju bersama motornya.

“Luna ?”

“Iya kak.” sahut Luna sembari memutar tubuhnya ke arah Dirga.
Dirga tersenyum samar. “Ayo..”

“Iya kak.”

Tidak ada percakapan yang menemani mereka selama perjalanan. Hanya deruh angin dan polusi knalpot yang mengganggu Luna. Sampai akhirnya motor berhenti di depan rumah Luna, barulah Dirga membuka suara.

“Biasanya kalo pagi berangkat sama siapa ?”

Luna melepas helm dan memeluknya. “Biasanya sih naik ojol, kalo kakak aku nggak sibuk dia yang nganter.”

Dirga mengangguk dibalik helmnya. “Besok berangkat sama aku aja.”

Telinganya tidak salah dengar kan ? Luna mengedip beberapa kali, meminta penjelasan dari apa yang barusan ia dengar.

“Daripada naik ojol, mumpung ada yang gratis.”

“Kak aku berangkatnya pagi banget loh.”

Luna bukannya tidak berniat menjadi lebih dekat dengan Dirga. Hanya saja Luna tidak mengerti kenapa Dirga harus repot-repot menjemputnya. Sahabat bukan, pacar apalagi.

Dirga mengendikkan bahu. “Nggak masalah.”

Akhirnya setelah beberapa saat terdiam, Luna mengangguk pelan. Sejujurnya Luna masih ragu.

“Sampe ketemu besok.”

***

“Berangkat bareng doi kok mukanya asem gitu.”

Sakit kepala, batin Luna malas meladeni Candra. Luna masih dendam karena masalah kemarin.

“Makan yuk.”

Luna menggeleng lalu membenamkan wajahnya di atas meja. Kepalanya masih berdenyut hebat sampai perutnya ikut terasa mual. Membayangkan makanan saja Luna sudah tidak sanggup.

“Lo kenapa ?”

“Pusing.”

“Kalo sakit ngapain masuk sih.”

Luna mengangkat kepala dan menatap Candra yang berdiri di samping bangkunya. “Nitip air yah Can.”

“Mau ke UKS nggak ?” tawar Candra mulai khawatir.

Luna menggeleng.

“Makanya jangan keseringan begadang Lun.”

“Iya.” sahut Luna singkat kemudian kembali menempelkan pipinya di atas meja.

“Gue tinggal makan dulu kalo gitu.”

Luna mengangkat jempolnya ke atas sebagai jawaban.

Selama mengikuti pelajaran dijam pertama, Luna tidak bisa benar-benar fokus. Luna pikir sakit kepalanya berangsur pulih, nyatanya tidak. Akhirnya Luna pasrah ketika Candra mengajaknya menuju UKS dijam istirahat. Dalam hati Luna sudah berniat pulang kalau-kalau pusingnya belum sembuh saat jam istirahat berakhir.

Luna mengeratkan tangannya di dalam genggaman Candra. Langkahnya terhenti merasa kepalanya seakan dihantam benda keras. Hampir mirip ketika bola basket menyerangnya.

“Mau gue gendong ?”

Luna menggeleng cepat, satu sekolah bisa heboh nanti.

“Masih bisa jalan ?”

Kedua matanya terbuka perlahan namun penglihatan justru berputar, membuat perutnya semakin mual. Tubuhnya mulai dingin hingga tidak sanggup menopang dirinya sendiri.

“Dinda!”

“Dinda! Dinda kenapa ?”

Siapa yang memanggilnya ? Luna sangat ingin tahu siapa orang itu. Tetapi pandangannya justru menggelap.

***

“Besok gue nggak masuk. Nyokap suruh istirahat.”

Send! Tidak butuh waktu lama Candra membaca pesan Whatsapp-nya.

“Lain kali kalo sakit, mending nggak usah masuk. Nyusahin tau.”

Luna mencibir membaca balasan dari Candra. Walaupun sahabatnya ini berkata demikian, yang terlihat justru sebaliknya. Candra yang paling khawatir. Baru saja Luna mengetik, Candra kembali mengirim pesan.

“Eh, kali ini bukan gue yang susah sih.”

Luna menghapus pesan sebelumnya. “Maksudnya ?”

“Pas lo pingsan itu, kak Dirga yang gendong lo ke UKS. Dia juga yang nganter lo pulang karena belom sadar-sadar.”

Luna baru ingat! Saking kagetnya Luna sampai duduk dikasur dengan mata membulat. Saat pingsan, Luna ingat ada yang memanggilnya Dinda! Padahal itu nama panggilan dari orang terdekat Luna. Yang tahu nama itu cuman keluarga dan temannya semasa SD. Candra saja yang jelas-jelas dekat dengan Luna tidak memanggilnya Dinda.

Yang semakin membuat Luna bingung adalah, tidak ada teman sekelasnya saat SD yang bernama Dirga. Tidak ada!

Pandangan Luna teralihkan ketika ponselnya kembali bergetar. Dari Candra.

“Ngomong-ngomong, kak Dirga kenapa manggil lo Dinda ?”

Itu juga yang tengah Luna pikirkan. Kenapa ? Siapa Dirga sebenarnya ?

TBC

A Mate For A Moment [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang