“Luna awas!”
Respon Luna terlalu lambat untuk mengerti teriakan Candra. Ketika Luna mengalihkan pandangan, Dirga sudah lebih dulu bergerak ke depan Luna dengan lutut sebagian tumpuannya. Tangan kanan Dirga memegang pundak Luna, sementara tangan satunya menampar bola basket yang melesat kearah mereka.
Luna melongo tidak percaya. Kenapa bola basket sangat suka padanya ? Tetapi yang lebih mengejutkan adalah posisi Dirga. Luna bisa mencium dengan jelas aroma parfum Dirga. Tanpa sadar Luna menghirupnya dalam-dalam.
“Astaga Lun. Sorry.”
Bersamaan dengan seruan Candra, Dirga segera beranjak dan pamit kembali ke kelas. Luna masih berusaha mengatur degup jantungnya yang tidak beraturan ketika Candra duduk dihadapannya.
“Keren nggak ide gue.” kata Candra mengacungkan jempol.
Luna mengernyitkan dahi. “Maksudnya ?”
“Gue tadi sengaja lempar bola kearah lo. Mau liat respon kak Dirga gimana.”
Luna mengangga tidak percaya. “Gila lo yah! Gimana coba kalo kak Dirga nggak halangin bolanya, masuk UKS 2 kali karena alasan yang sama kan nggak lucu.”
“Ya kalo lo pingsan, kan lumayan ada kak Dirga yang bopong lo ke UKS.”
“Wah! Lo bener-bener.”
“Tapi gimana tadi rasanya ?”
“Rasa apaan sih ?” sewot Luna kembali mengingat kejadian barusan.
“Itu waktu kak Dirga jadi tameng, mana deket banget lagi.”
“Biasa aja.” elak Luna mengalihkan pandangan.
“Boong banget. Muka lo merah.” sahut Candra lalu melesat ke tengah lapangan.
Meninggalkan Luna yang kembali salah tingkah. Arghh! Luna tidak akan berani bertemu Dirga lagi!
***
“Luna ?”
Oh God! Ini cuman chat tapi Luna langsung merasa wajahnya memanas. Luna sampai memejamkan mata dan menutup buku cetak dihadapannya. Apa Dirga sebersalah itu sampai harus rutin menghubunginya tiap malam ? Luna menghembuskan napas panjang kemudian berpindah ke tempat tidur.
“Ada apa kak ?”
typing..
Mata Luna membulat, secepat itu Dirga membaca pesannya ?
“Kepala kamu gimana ?”
Kali ini kening Luna berkerut. “Seharusnya aku yang nanya, tangan kak Dirga nggak kenapa-kenapa ?”
“Hehee, nggak kok. Sekarang, kamu yang jawab.”
“Udah nggak pernah kok.”
“Luna, cowok yang sering bareng kamu itu siapa ?”
“Candra ? Itu temen aku kak. Kenapa ?”
“Kalian deketnya bukan kayak temen.”
“Oh bukan temen deh. Sahabat.”
“Oh gitu?”
“Emang kenapa kak ?”
“Nggak apa-apa.”
Luna baru sadar ternyata terus tersenyum sejak tadi. Kedua tangannya terangkat dan menangkup pipinya yang terasa hangat. Belum bertemu sana Luna sudah malu setengah mati. Bagaimana kalau bertatap muka ?
Sampai matahari terbit pun, Luna tidak henti-hentinya memikirkan tentang apa yang harus ka lakukan jika tanpa sengaja bertemu Dirga. Opsi pertama, bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Kedua, menyapa sebentar lalu pergi. Ketiga, pura-pura pingsan. Luna menggeleng cepat sembari berjalan melewati koridor. Tidak ada opsi yang meyakinkan.
“Morning rayap. Eh? Baru nyampe juga ?”
“Makan yok!” ajak Candra melempar tasnya dari jauh.
“Nggak ah.” tolak Luna menempelkan sebelah pipinya di atas meja.
“Tumben.”
“Lo sendiri aja.” gumam Luna lalu menghela napas.
“Yaudah, lo mau nitip apa ?”
“Water.” jawab Luna sok Inggris.
“Oke sist.”
Luna bukannya tidak lapar. Ia takut bertemu Dirga nanti, Luna masih malu tentang kejadian kemarin.
***
Dirga menyisir setiap sudut kantin, mengamati satu persatu perempuan yang tengah duduk menikmati makan siang. Orang yang ia cari tidak ada. Tadi pagi juga, Dirga sengaja nongkrong cukup lama di kantin tetapi hanya melihat Candra seorang diri.
“Bakso ada kang ?” kata Dirga setelah cukup lama berdiri.
“Ada dong.”
“Kang, nasi goreng pedasnya. Minumnya biasa.”
Kepala Dirga menoleh cepat. Saat itu pula Candra tengah menatapnya lalu tersenyum singkat.
“Luna mana ?”
Untuk sesaat, Candra terlihat kebingungan. “Mm, nggak laper katanya.”
“Oh, perasaan tadi pagi juga Luna nggak ke kantin.”
“Iya kak. Ini aja dia cuman nitip roti.”
Dirga mengangguk paham kemudian pamit duduk. Ada rasa khawatir yang mulai mengganggunya.***
Tak ada tissue, rok pun jadi. Masa bodo roknya basah, nanti juga kering sendiri. Luna menatap kedua tangannya yang sudah kering. Sambil melangkah kembali ke kelas, Luna bersenadung kecil meski perutnya mulai bergerumu tidak jelas. Kalau bukan insiden bola basket itu, sekarang Luna pasti tengah asyik menikmati makan siang hingga perutnya penuh. Tanpa takut berpapasan dengan Dirga.
Ini semua salah Candra. Selalu saja membuat rencana tanpa berpikir dua kali atau meminta pendapat Luna.
Tetapi rasa geramnya menguap entah kemana ketika matanya menangkap sesuatu di atas mejanya. Roti isi keju dan sebotol air mineral dingin.“Dimana tuh anak.” gumam Luna pada diri sendiri melihat kelas yang kosong melompong.
Tanpa pikir panjang, Luna yang memang kelaparan segera melahap roti kesukaannya. Bisa dibilang seleraLuna tentang makanan terlalu rumit. Luna tidak suka rasa lain selain keju bahkan rasa coklat sekalipun yang menjadi kegemaran mayoritas manusia. Aneh kan ?
“Pesanan datang!” teriak Candra bersandar didaun pintu sambil menggoyang-goyangkan kantong kresek hitam.
Secara otomatis, Luna berhenti menguyah roti yang masih tersisa setengah.
“Lo udah makan ? Trus ngapain lo nyuruh gue beli coba.” protes Candra menghampiri Luna yang kini bengong.
“Loh? Ini bukan lo yang beli ?” tanya Luna menunjukkan roti ditangannya.
Candra memindahkan isi kantong kreseknya ke atas meja Luna. Ada sebotol air dan 2 bungkus foto keju. “Ini aja gue baru sampe.”
“Trus ini dari siapa ?”
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
A Mate For A Moment [END]
ФэнтезиUpdate setiap hari! Pernah dengar legenda "Benang Merah Takdir" ? Awalnya Luna bahkan tidak tahu jika legenda semacam itu ada. Sampai akhirnya, entah apa yang terjadi Luna bisa melihat benang merah dua orang yang berjodoh. Hari-harinya menjadi rumit...