06-

95 5 0
                                    


Aku berjalan terseok-seok. Pegal, dari pagi tidak berhenti berpindah dari gedung ke gedung lainnya. Kakiku lemas harus menaiki tangga satu persatu. Duh Gusti, Kenapa juga anak tangga ini mendadak jadi banyak? Keenan belum berhenti melepaskanku, nyebelin! Kenapa anak ini tengil banget?

Aku tidak diam saja, bahkan sudah beberapa menendang tulang kering Kei, tetap saja namanya juga Keenan tidak akan membiarkan lepas begitu saja. Bahkan pergelangan tangan kiriku masih dicekalnya, pasti akan memar nantinya, sedangkan tangan kanan aku gunakan untuk melindungi hamster yang terkulai lemah di dalam saku hoodie.

"Kei.. kei .. sekali lagi kamu gak lepasin tanganku, aku jadiin kamu ayam geprek. Mau?" Aku mencoba melepaskan cekalannya lagi.

Keenan menyeringai. "Aduh aku kok takut, ya?"

Benci. Aku benar-benar benci Keenan. Maunya apa sih?

Keenan melotot tapi aku tidak takut sama sekali. "Kamu udah berani bohongin aku, bilangnya puasa tahu-tahu kamu cuma nolak tawaranku buat makan di kafetaria. Kamu akan kuhukum!"

Nadanya meledak-ledak, cengkraman di lenganku mengeras. Aku meringis barulah Keenan melepasnya. Benar saja tanganku ada tanda merahnya.

Kami sampai di depan kelas. Aku tengok dulu situasi di dalam dari balik jendela. Benar-benar kacau seperti pasar kaget. Untungnya belum ada pengajar. Teman cewek sibuk mengobrol tentang pacar, k-pop, tiket nonton, liburan, cowok ganteng, bule, dan banyak lagi.

Aku melangkah seiring dengan langkah kaki Keenan. Mengikutinya masuk ke kelas. Semua orang di dalam sibuk aktifitas masing-masing. Butuh waktu beberapa detik sampai akhirnya ada yang menyadari bahwa pintu masuk terbuka dan ada aku juga Keenan di ambang pintu.

"Ya, Tuhan. Zara!" cewek berambut hitam yang pertama menyadari kehadiranku. Aku melemparkan senyum berjalan ke arahnya lalu menghempaskan diri ke kursi dengan kesal.

"Dari mana aja sih? Aku nunggu kamu di kafetaria gak nongol, cari ke kelas nggak ada. Habis dari mana?" Nah seperti biasa temanku ini kalau ngomong nggak bisa sedikit-sedikit.

"Tau tuh si nyebelin Keenan!" Aku menunjukan ke arah Keenan duduk dengan dagu.

Nadien tertawa mengejek. "Kamu udah berhasil jinakkin Keenan?"

"Mana bisa jinakkin dia tengil begitu!" Nadien Tertawa lagi. Ugh!

Sampai aku merasakan sesuatu yang menggelitiki saku hoodie-ku. Hangat merayap. Aku baru ingat, Hamster. Perlahan aku membuka hoodie-ku. Nadien menyadari ekspresiku.

"Kenapa, sih?"

Aku tidak menjawab. Sibuk menenangkan jantungku yang berubah seketika melihat ekspresi Nadien yang begitu penasaran. Tenang! Tenang! Tarik nafas, embuskan, menenangkan diri sebelum menceritakan ke Nadien.

"Kamu nyembunyiin sesuatu dari aku, apa?" tanya Nadien lagi sambil menaikkan alisnya. Aku nyengir.

"Nad ... kamu sehat, kan?" tanyaku membuka peluang pembicaraan seaman mungkin, karena aku tau apa yang akan aku sampaikan bisa jadi membuatnya kaget atau bisa berdampak jantungan.

"Kamu ngedo'ain aku sakit?"

"Yeee, jawab aja kali."

"Ya jelas aku sehatlah. Kamu bikin masalah atau apa? Aw, atau ngelakuin apa gitu sama Keenan?"

Duh, Gusti. Masa sih harus aku gaplok mulutnya?

"Sembarangan!"

"Ya udah apa? Kamu bikin aku penasaran tau gak," Nadien mengernyitkan dahinya.

Mentari [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang