02-meet him again

186 9 4
                                    

Bersama yang lain, aku melewati jalanan lebar untuk menuju gedung utama. Di kanan dan di kiri lapangan rumput dan pepohonan hijau yang biasanya menampakkan bayang-bayang. Di tengah ceceran para siswa, pandanganku teralihkan kepada seorang yang sepertinya baru saja dilihat tadi di jalan. Seseorang yang mengotori kaus kaki dan sepatuku. Iya itu dia, tidak salah lagi. Biarpun tidak lama-lama memerhatikan, aku masih ingat. Sayang, aku sama sekali tidak mengenal pemuda berambut terbelah itu. Saat ini yang akan kulakukan adalah menegurnya, pelan-pelan aku melangkahkan kaki ke arahnya namun tak lama dua orang lelaki bergabung sambil menepuk pundaknya, salahsatunya aku kenal Kak Kevin. What? Kakakku kroni setianya? Aku buru-buru mundur mengambil langkah untuk berbalik.

Tak apa cuma soal kaus kaki. Tidak masalah. Bukan hal yang penting. Ketimbang ke sana dan mengundang masalah. Oke, forget it. Aku akan membelinya di koperasi sekolah.

Aku bersiul, menyenandungkan lagu anak Pagiku cerahku matahari bersinar, namun merasa terkhianati hari ini matahari tidak cerah sama sekali. Huh! Tapi tak apa hanya sebuah lagu, lanjutkan.

Kugendong tas merahku di pundak.

Sambil terus merapikan rambut sebahuku yang berantakan akibat terbungkus hoodie yang baru saja kulepaskan memaparkan wajahku sepenuhnya. Aku langsung menangkap ekspresi anak-anak yang memandangku. Harus beri mereka penjelasan apa lagi coba? Mengapa banyak sekali yang bereaksi begitu? Jelas aku ini Zara Z-A-R-A, bukan Praticia.

"Hoodie, warna rambut, gaya rambut, apalagi? Masa sih harus pakai kaca mata hitam?" Gerutuku.

Kembali aku langkahkan kakiku di sepanjang koridor yang menghubungkan koperasi sekolah, dinding arsitekturnya megah bercat putih-hijau. Koperasi sekolah di ujung sana. Masih ada waktu sepuluh menit sebelum bel pelajaran pertama dimulai. Maka aku menghentikan dulu langkahku di depan kawasan hijau. Maksudku lapangan berumput hijau lebih mirip dengan lapang bola. Disekelilingnya pohon bonsai tertanam. Tepat satu meter dariku ada air mancur yang mengucurkan air sejernih kristal dengan patung perunggu pendiri sekolah lengkap dengan moto GIHS.

Berfikir, berdzikir, berkarir.

Aku berdiri memandang sekeliling. Sekarang selasar mulai sepi, anak-anak mungkin sudah masuk gedung kelas masing-masing. Aku menjadi satu-satunya orang di sini.

"What are you doing outside? Sudah mau bel, belum masuk?" tegur Miss. Jessyra konselor siswa sedang berpatroli.

"Sebentar Miss, ada yang harus saya beli di koperasi sekolah." Jawabku sambil menyalami punggung tangannya. Beliau mengangguk.

"Oke .. jangan lama-lama, Zara." Perintahnya lalu menghilang di balik punggung.

Lalu aku melihat seorang lelaki teman satu kelasku. Masih seperti biasanya, lagi-lagi ia datang tepat di waktu itu, pukul 6.50 padahal hari ini gerimis turun lumayan deras. Rupanya ia tidak mengganggu prinsipnya, orang yang selalu datang tepat waktu. Juga seragam yang ia kenakan selalu seperti itu, atasan kemeja putih, dasi abu, vest abu, jas hijau tua diikat di pinggang, dan bawahan celana abu.

Lalu ia melangkah mendahuluiku, ow dugaanku salah ia mundur dua langkah dan berhenti tepat di belakangku. Memandangi air mancur itu, yang ajaibnya aroma air yang mengucur menyegarkan udara sekitarku. Oh tidak, aroma itu menyeruak dari tubuhnya. Tanpa berbalik memandangnya, aku bisa merasakan berapa senti tinggi badannya. Sering kudengar angka 179 itu disebut, tapi aku tidak peduli.

Aku mundur, sengaja menginjak kakinya yang terbungkus sepatu converse sampai ia mengaduh.

"Aw, aduh! Kebiasaan deh kamu, Za! Lihat kakiku eh sepatuku kotor kena lumpur dari sepatumu .. eh astaga sepatumu kotor betul, iya .. iya aku tahu hari ini gerimis tapi kok sampai kotor begitu .. ow kaus kakimu juga. Habis dari mana sih? Kamu habis dari sawah?" Satu tarikan napas. Good!

Mentari [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang