03

134 9 0
                                    

Im so really miss you, its good to see you again.

Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Berputar. Membayang. Teringat. Huh. Kenapa harus ketemu lagi sih? Eh, bukannya bagus kalau kami bertemu lagi? Itu yang aku mimpikan dari dulu. Tapi, bagaimana kalau aku jatuh cinta lagi? Oh, ya ampun!

"ZARA!" Teriak seseorang di sampingku, Nadien.

"Eh? Iya kenapa?" tanyaku.

"Kamu yang kenapa? Dari tadi aku ajak ngomong gak dijawab! Mikirin apa sih?" gerutunya sambil menghentakkan kaki.

"Oh nggak kok, gak papa."

Aku dan Nadien sedang berjalan menuju kelas. Kelas kami ada di lantai dua, jalan kaki. Sebetulnya disediakan lift khusus untuk difabel. Lagian hanya ada tiga puluh anak tangga lebay kalau memakai lift, kata Nadien. Pura-pura nggak tahu kalau kakiku benar-benar lemas akibat jalan kaki tadi pagi. Tenagaku lemas ditambah dengan celoteh Nadien. Temanku satu ini selalu saja heboh menyerupai lambe turah.

Namun, meski mulutnya mengomel, aku bersyukur karena memiliki Nadien sebagai temanku. Dua minggu yang lalu saat aku menjadi murid baru, dalam peraturan sekolah diberi waktu tiga minggu untuk beradaptasi. Yang biasanya memandu adalah ketua murid. Berhubung ketua murid merupakan seorang laki-laki dan aku pun kurang nyaman maka wali kelas meminta wakil ketua murid saja, yaitu Nadien.

Dari sanalah hubungan kami semakin dekat. Sebetulnya semua orang di kelas terkesan baik namun tetap saja ada yang membuat kelompok-kelompok ekslusif atau ada juga yang sengaja menutup diri tidak berbaur. Wajar sih.

Selain itu aku kurang nyaman karena kebanyakan dari mereka masih menganggap kalau aku adalah si gadis itu, Praticia. Dari 28 anak di kelasku hanya ada dua yang mudah memahamiku, yaitu Nadien dan Carolyne.

Mungkin kita pernah mendengar hal semacam ini 'hati-hati dengan teman baru. Awalnya aja baik eh lama-lama ada maunya' menurutku pernyataan itu salah besar bagaimana mungkin kita langsung menyimpulkan seperti itu sementara kita belum mengetahui sifat aslinya. Bisa jadi terlihat jutek di luar namun hatinya begitu lembut, itu Nadien menurutku. Atau bisa saja, sebaliknya. Kita bukannya pilih-pilih teman, tetapi teman itu memang harus dipilih agar tidak dapat pelukan teman palsu.

Nadien Kharissa Shelton, perempuan yang kerap dipanggil Nanad, meski usianya lebih muda dariku tapi sikap dewasa melebihi usianya. Aku banyak belajar darinya. Dari sikapnya yang mudah berbaur itu, dari bagaimana ia menyikapi masalah. Aku salut pada Nadien.

"Kamu sama Alvian, udah saling kenal?" Seketika jantungku terasa mencelos ke bawah mendengar pertanyaan yang ia utarakan dengan nada penasaran itu.

"Ah ya dia--"

"---Awassss!!!"

Di depan ruang kelas. Sebelum pintu terbuka sempurna, seorang cowok menyeruak masuk. Menyibak, aku dan Nadien tersuruk dan memekik kaget. Poni coklat yang terbelah dua menutup mata. Di kelasku hanya ada satu cowok yang punya hair style Oppa Korea seperti itu. Siapa lagi kalau bukan Keenan Natadigara, si trouble maker kelas berat.

"Hei! Keenan! Hati-hati dong, gak lihat di sini ada orang? main tubruk aja!" Sungut Nadien sambil membantuku berdiri.

Cowok itu malah ngedumel enggak jelas. Tapi kemudian berbalik celingukan lalu mengangkat tangan. "Sori. Sori. Sori. Aku buru-buru."

"Makanya kalau jalan pakai mata! Jangan cuma pakai kaki doang!" Nadien, emosinya memuncak.

Keenan mendengus. "Bawel!" Menatap Nadien, mungkin orang lain akan terpesona tapi bagiku mata tajamnya itu bikin merinding.

Mentari [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang