13- what do you feel about me

58 3 0
                                    

Seperti hujan yang jatuh ke Bumi dengan deras tanpa memberi tanda sebelumnya, seperti petir yang menggelegar tanpa butiran air sebelumnya. Atau seperti awan hitam yang bergulung-gulung hendak membawa hujan deras disertai petir yang menggelegar.

Seperti itulah perasaanku saat di hadapkan dengan seseorang yang kehadirannya tidak terduga. Seseorang yang membuatku mlongo bagai orang bego diiringi dengan jantung yang berdentam sepersekian detik. Membuatku kesal tiga detik, membuatku bertanya-tanya selama beberapa menit.

Aku kembali mendapati orang ini. In here, place here. Aku tidak menyangka dia akan datang ke tempat seperti ini. Eh memangnya kenapa, bebas kan? Cowok. Namun bukan sembarang cowok. Mata coklatnya membuatku merinding. Oh ya, sosok tinggi mirip tiang listrik dengan rambut kawat besi terbelah dua. Aku anti banget harus berurusan dengannya.

Ia lalu berjalan menyeret kakinya ke arah Ren. Ren langsung membalas sapaannya. Berbagai pertanyaan dan pemikiran memenuhi otakku seperti rumus yang diturunkan.

Kenapa bisa? Kenapa bisa ia disini? Kenapa bisa mereka akrab? ada hubungan apa mereka?

Si cowok itu membalikkan tubuh tingginya, menoleh ke arahku. Memperhatikanku, sikapnya yang mirip es balok membuatku menelan ludah. Langkah demi langkah membuat indra penciumanku kembali berfungsi dengan pintar-, wangi itu yang kemudian membuatku mendongak memandang wajahnya. Darah bergejolak hangat. Kelemahanku tiap kali menghirup wangi parfum.

"Ren serius ini orangnya?" Ren mengangguk. Aku melotot. Pertanyaan itu tergolong tidak sopan. Apalagi ia melontarkan pertanyaan nya dengan nada tajam. Apa di dalam mulut nya terdapat golok?

Kamu tebak dia siapa? Si pelaku ciprat lari. Si tiang listrik. Ya, dia Elang si Pangeran kutub. Lha? Kok Pangeran kutub? Ya, pokoknya lihat saja dari sikapnya begitu dingin nan angkuh. Sepertinya nilai sosial dia itu E besar, aku bahkan berani bertaruh kalo tadi dia mandi menggunakan air es.

"Kamu tahu apa yang bakal kamu lakuin di sini?" Lang kelewat basa-basi. Ekspresinya serius, bahkan nampak terbebani. Wajar saja, dia tidak tahu kemampuanku tapi itu jelas meremehkan.

Aku mengiyakan, "memainkan Piano. Itu tugas kak Rexy karena dia nggak bisa hadir aku yang menggantikan." Jawabku.

"Apa kamu bisa?" tanyanya, pertanyaan aneh. Kalau aku tidak bisa, tidak mungkin aku ada disini,  menyanggupi ajakan Ren dan duduk di kursi khusus Piano.

"Itu pertanyaan aneh, apa harus aku jawab?"

"Iya, harus. Karena aku pengen tahu kemampuan kamu. Kalau cuma mau ngerusak suasana mendingan pulang." Lang mengangkat tangannya, menunjukkan ke arahku lalu ke arah pintu.

Apa? Ren yang memaksaku. Setelah aku tertarik dan menyetujuinya, Lang menendang ku? Eh.. apa peduliku? Bukan Lang yang mengajak ku kesini untuk apa memikirkan ucapannya.

"Whoi Lang, gak sopan banget. Kamu gak bisa seenaknya ngomong barusan karena belum lihat langsung kenyataannya." jawab Ren cepat.

"Kalo ternyata dugaan aku benar, dia gak bisa main Piano, gimana?" Lang bertanya lagi.

Aku tidak menanggapi. Ucapannya kali ini tidak terlalu menusuk tapi membangkitkan luka yang dua setengah tahun lalu aku kubur dalam-dalam. Kini usiaku bertambah dan ingatan mulai pandai mengumpulkan kenangan demi kenangan.
Udah saatnya aku bangkit. Harus. Aku mengangguk untuk meyakinkan diri sendiri.

Lang menatapku, salah paham dengan anggukkan ku barusan. "Jadi bener, kamu gak bisa main Piano?" Nadanya meremehkan, membuatku meradang.

"Kalo emang kamu nggak percaya sama aku mumpung belum dimulai, aku pulang aja." Jawabku santai. Berdiri. Mengambil tas selempang dan mencengkram nya kuat-kuat berniat pergi.

Mentari [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang