16- don't wanna be here

51 2 0
                                    

Aku duduk di bangku dengan perasaan yang campur aduk. Jangan tanya kerja jantungku, jelas kacau balau. Lebih kacau ketika sedang dihadapkan dengan ujian atau berhadapan dengan ... do'i. Haish! Doi itu makhluk seperti apa?

Hari senin yang menyenangkan itu fiktif belaka. Tidak ada hari Senin yang seperti itu, kalaupun ada hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang punya otak normal.

Bagiku, Senin itu hari yang menyebalkan. Segala macam urusan kenapa harus disimpan di hari Senin, sih? Kenapa nggak hari Minggu saja biar aku menjalaninya sambil rebahan? Dasar kaum rebahan!

Jika boleh memilih, sebenarnya aku ingin mengawali hari Seninku dengan penuh kebahagiaan dimana aku bisa bertemu dengan ... Ah, si doi? Ya, serta mengakhirinya dengan kebahagiaan. Sayangnya, hari Senin yang penuh kebahagiaan itu tidak ada, tidak seperti yang diharapkan. Hari Senin yang aneh. Bukan tanpa alasan, buktinya hari Seninku ini malah berisi masalah. Deadline tugas, diganggu makhluk-makhluk titisan bidadari yang unch, dipermalukan sekelas juga, ... terlalu jahat mungkin kalau aku menceritakannya di sini, Nad.

Tapi, aku tidak bisa menghilangkan pikiranku darinya. Sebetulnya, apa maksud Nadien barusan? Sengaja menyandungku atau karena memang sangat terpaksa?

Jujur saja aku ingin berdamai. Astaga, berlebihan kalau disebut berdamai. Aku ingin semua seperti biasanya, aku temanmu dan kamu temanku. Awalnya kupikir, dengan cara memberikan pinjaman jas padaku hubungan kami akan membaik, aku senang membayangkannya. Ucapan adalah do'a aku tahu betul semua itu hanya bayangan tambah semu. Bayangan semu. Whatever. Nadien telah membuatku tersadar tidak ada yang baik-baik saja saat aku mencoba berteman baik dengannya yang kuanggap baik.

Kalau insiden di selasar dan loker tadi sebetulnya aku tahu bukan hal yang aneh lagi, Kak Kevin beberapakali menceritakan padaku tentang pembully-an dan penindasan itu berlaku di sini. I can't believe it at first. Kukira itu tidak akan jadi masalah. Tapi hari ini aku mengalami sendiri pil pait itu, yang membuatku heran kenapa melakukannya padaku? Kenapa aku dijadikan target mereka? padahal aku tidak menganggu mereka, kenal baik tidak dan berada di sekolah ini juga baru seumur jagung.

Aku menghempaskan diri di kursi, menarik nafas dan menyemburkannya keras-keras bahkan suaranya bakal lebih keras ketimbang gedoran di papan tulis. Sampai akhirnya pelajaran Accounting selesai, astaga aku bahkan tidak mencatat apa saja yang Pak Yoshua jelaskan. Mataku sebenarnya dilakukan sesuai fungsinya, pandangan mengarah ke depan. Telinga digunakan untuk melakukan apa yang biasa dilakukannya. Mendengar tapi tidak merekam.

Aku menjatuhkan wajahku pipi kiri menyentuh meja, dingin mengalir. Bangkit. Menaruh dagu dengan tangan menyangganya, pegal. Menjatuhkan kepala lagi, tidak dingin karena buku terbuka jadi alas di atas meja, pandangan kesamping. Bengong, terus saja begitu sampai sukses. Mustahil! Tidak ada orang yang sukses tanpa usaha. Ah!

Aku membentur-benturkan kepala ke buku. Pikiranku seperti bola liar, memantul ke sana kemari.

"Hey...," Seseorang menyentuh lenganku dengan penggaris. Aku buru-buru duduk, atur nafas. Tarik lalu hembuskan. "Kamu kelihatan lagi badmood." tambahnya.

"Kamu baik-baik saja, kan?" Ren kembali bertanya kali ini lebih lembut aku bahkan tidak berani memandangnya. Jangan baper dulu. Just because i'm still angry, ingat? Tambah bird angrybirds .. iya, iya whatever.

Ren tidak menyerah masih terus bertanya. Aku menutup telinga suaranya seperti alunan musik sesekali aliran rock yang merusak gendang telinga sesekali musik melankolis lembut sampai ke kalbu menyentuh hati dan jiwa membuat cewek mana pun melting.

"Ah .. akan kuhitung sampai tiga kamu pasti bicara." katanya sok yakin. Kita lihat siapa yang menyerah duluan. "Satu ... satu setengah .. dua... dua koma lima ..." Aku tidak bersuara namun hati kecilku mencela pukul saja, Za! Pukul! Jangan ditahan-tahan begitu.

Mentari [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang