☘️ BAB 6 | Pandangan Pertama ☘️

586 73 7
                                    

LISTEN
Bekasi, 24 Maret 2020
hapsyahnurfalah
☘️☘️☘️

Dewa Argantara, atau yang akrab dipanggil Dewa. Lelaki berumur 17 tahun itu keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk putih yang melindungi tubuh bagian bawahnya. Jam sudah menunjukkan ke arah 7 kurang 15, tapi seolah itu tak masalah untuk Dewa. Lelaki itu tetap tenang dan memakai seragam putih abunya.

Pantulan tubuhnya dari dalam cermin, cukup menggambarkan wajah tampan, tinggi, dan tegap tubuhnya. Kulitnya yang sedikit kecokelatan menambah kesan maskulin dalam diri Dewa.

Selesai memakai kemeja putih juga celana abunya, lelaki dengan tinggi 180 cm itu menyisir rambut hitamnya yang sudah hampir menutupi alisnya. dewa tak takut dengan ancaman guru yang mengatakan akan menggunduli rambutnya jika masih terus memanjangkan rambut dengan sengaja.

Dengan membawa ransel hitam yang sebenarnya hanya berisi satu buku juga dompet, Dewa keluar dari kamarnya dengan tubuh yang sudah dibalut jaket boomber berwarna army. Sepi, suasana yang Dewa dapatkan saat ia sampai di meja makan. Sama sekali tak ada yang menarik dari rumah besarnya itu.

Dewa mencoba untuk duduk tenang di salah satu kursi. Ia masih menatap tak berselera menu sarapan yang sudah disediakan oleh pembantu rumah tangganya. Dewa memilih bangkit berdiri dan langsung pergi ke sekolah dari pada harus sarapan seorang diri di meja makan yang besarnya bahkan bisa memuat 10 orang.

"Sarapan dulu, Den?"

Dewa menoleh sekilas pembantu wanita paruh baya di hadapannya. "Nggak laper," katanya.

"Kemarin Den Dewa juga nggak sarapan. Kalau Aden nggak sarapan, nanti Aden bisa sakit."

Dewa menatap mata Bi Ratna dengan lurus, tanpa ada senyum yang menghiasi wajahnya. "Saya mati pun, nggak ada yang peduli sama saya." Ujar Dewa dengan langsung berlalu meninggalkan Bi Ratna keluar rumah. Ia langsung menaiki motor ninja merahnya dan meninggalkan pekarangan rumah dengan kecepatan motornya yang melaju kencang.

☘️☘️☘️

Tok tok!

"Cinta!!"

Cinta membuka kedua matanya saat mendengar suara ketukan di pintu kamarnya.

"Cinta, bangun Nak! Kamu harus berangkat sekolah. Keburu Vino nanti nyamper loh," teriak sangbunda dari luar kamar Cinta.

Dengan lemas akhirnya Cinta bangkit duduk. Ia menarik tali yang menempel di kepala ranjangnya yang terhubung dengan lonceng kecil yang berada di depan kamar Cinta. Itu sebagai pertanda agar sang bunda tahu jika Cinta sudah terbangun.

Cinta duduk menunduk dengan menatap selimut yang masih menutup kedua kakinya. Tangannya terangkat mengusap wajah yang tampak kusam dan tak bersemangat.

Kamu harus sekolah Cinta. Jangan buat Ayah dan Bunda kecewa. Ujar Cinta dalam hati.

Cinta bangkit berdiri dan melangkah menuju kamar mandi. Air dingin nan sejuk langsung membasahi seluruh tubuhnya. Berharap air itu akan melarutkan segala gundah dan sedihnya. Berharap air itu dapat membantu dirinya untuk kembali memberikan semangat dalam hidupnya yang tak sempurna seperti kebanyakan orang.

Cinta keluar dari kamar mandi setelah selesai membersihkan tubuhnya. Matanya menangkap seragam putih abu yang telah dibelikan oleh bundanya.

Cinta menghela napas panjang lalu mengembuskannya dengan perlahan. Semalaman Cinta kembali berpikir, haruskah ia menyerah saat ini? Haruskah ia menyerah untuk bisa bersekolah di sekolah formal dan memiliki banyak teman? Atau haruskah Cinta melepaskan semua mimpinya?

LISTEN | ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang