☘️ BAB 9 | Dia, Perempuan Bisu

503 70 10
                                    

LISTEN
Bekasi, 10 Mei 2020
hapsyahnurfalah
☘️☘️☘️

Jam 8 malam, Dewa baru sampai di rumahnya setelah menghabiskan waktunya di rumah Rendra bersama Tama. Ia memakirkan mobil putihnya di garasi lalu masuk ke dalam rumah dalam keadaan wajah yang dingin dan tatapannya yang tajam. Apa yang ingin ia lakukan hari ini pada Singgih gagal karena ulah gadis bernama Cinta. Singgih juga langsung dibawa ke rumah sakit dan masuk ke UGD karena luka yang cukup parah diterimanya.

"Uhh ... anak kesayangan Mama Ina baru pulang rupanya."

Mendengar suara yang sangat ia kenali itu, Dewa langsung berhenti tepat sebelum ia menaiki anak tangga. Dewa menoleh perlahan. Saat tahu yang berdiri tak jauh darinya adalah Bastian, Dewa mencoba untuk bersikap tenang walau sebenarnya sulit rasanya.

Bastian masih bersidekap menatap Dewa penuh tatapan remeh. Beberapa detik kemudian ia tersenyum dan melangkah maju mendekat.

"Mau apa lo ke sini?" tanya Dewa.

Mendengar Dewa menanyakan itu padanya, Bastian sontak tertawa sinis. "Bukannya ini rumah gue juga? Jangan gitu lah, Wa. Kita itu kan saudara, jadi jangan selalu tatap gue dengan tatapan sinis lo itu."

"Gue nggak pernah punya saudara brengsek kayak lo. Sejak awal juga gue nggak pernah merasa punya saudara kayak lo."

Bastian kembali tertawa singkat. Senyumnya hilang dan tatapannya berubah menjadi serius menatap Dewa. "Gimanapun lo anggap gue, gue tetep kakak yang sayang sama adiknya," ucapnya sambil menyentuh kedua bahu Dewa.

Tangan Dewa langsung mendorong sebelah bahu Bastian ke belakang. Dewa melirik bahunya lalu mengusap jaket hitamnya yang seolah tertempel debu karena sentuhan Bastian tadi. "Banyak bacot. Mending lo pergi, gue capek mau istirahat."

Dewa menaiki satu persatu anak tangga, namun baru sampai di anak ketiga, Dewa mendengar suara papanya yang memanggil namanya.

"Mulai malam ini, Bastian akan lebih sering menginap di sini."

Dewa langsung memutar tubuhnya dengan cepat. "Apa?" tanyanya. Berharap apa yang ia dengar barusan hanyalah salah dengar.

"Karena Papa nggak bisa ninggalin kamu lebih lama lagi, maka Papa minta Bastian untuk tinggal di sini menemani kamu."

Dewa menarik satu sudut bibirnya, menatap sang papa dengan tatapan geli dari atas tangga. "Kenapa Papa nggak usir Dewa aja sekalian? Kenapa Papa harus siksa Dewa terus-menerus begini?"

"Apa maksud kamu? Harusnya kamu terima kasih sama Papa, bagaimanapun juga Bastian itu saudara kamu."

Dewa mendengus geli. Benar-benar menggelikan sampai rasanya Dewa ingin muntah. "Saudara? Sampai detik ini dan sampai kapan pun, aku nggak pernah punya saudara kayak dia!" bentak Dewa sambil menunjuk kasar ke arah Bastian yang saat ini hanya tersenyum seolah menikmati perdebatan antara ayah dan anak di depannya.

"Jaga nada bicara kamu, Dewa!"

"Kalau Papa izinin dia tinggal di sini, maka biar aku yang pergi!" kesal Dewa yang langsung pergi begitu saja masuk ke dalam kamarnya dan membanting pintunya.

Bastian yang sejak tadi diam memperhatikan, tetap mempertahankan senyum puasnya saat melihat Dewa yang menghilang masuk ke dalam kamarnya.

"Bastian, maafin Dewa, ya. Dewa memang semakin lama sudah susah sekali diatur."

"Nggak papa, Pa. Aku yang justru minta maaf karena udah bikin Papa dan Dewa berantem."

Adrian menghela napas panjang. "Tanpa ada kamu juga cara kita bicara pasti selalu seperti ini. Papa sudah tidak lagi bisa bicara dengan nada pelan dengan Dewa."

LISTEN | ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang