☘️ BAB 11 | Keluar Batas (2) ☘️

386 86 16
                                    

LISTEN
hapsyahnurfalah
☘️☘️☘️

Begitu sebatang rokok telah habis terbakar asap, Dewa membuang putung rokoknya sembarang. Ia kembali membuang kepulan asap dari mulutnya membumbung ke atas wajahnya. Rasanya sedikit terpuaskan, walau ia belum juga bisa berhenti memikirkan kejadian semalam.

Rupanya Adrian memang sedang tidak bercanda. Bastian benar-benar akan tinggal di rumahnya. Dan itu tandanya, semua ketenangan yang selalu Dewa ciptakan pada akhirnya juga akan retak. Apa pun yang coba diperbaiki tak akan lagi sama seperti dulu.

"Wa, udah lah, nggak usah dipikirin lagi tuh si Kampret." Rendra menepuk bahu Dewa. Memberikan sedikit hiburan yang ia yakin tak akan mungkin bisa menghibur Dewa.

"Iya, Wa, bener," timpal Tama. "Kemungkinan besar dia sebentar lagi bakalan out dari rumah lo. Dia juga pasti nggak akan tahan tinggal serumah dengan orang yang selalu ribut sama dia. Jadi mending sekarang, lo lupain dulu dah tuh masalah. Otak lo terlalu berharga mikirin tuh si Bangsat."

"Anjay, panggilan terakhir lo buat si Kampret itu gue suka, Tam. Very good," kata Rendra dengan tertawa.

"Dih!"

Dewa berdecak pelan. "Ngeliat mukanya aja rasanya ni tangan gue pengen melayang ke pipinya. Gila apa tuh orang? Gue juga yakin kalau dia adalah orang pertama yang menghasut Papa. Papa nggak akan mungkin mengiyakan kalau nggak dipancing di awal. Karena walaupun Papa juga mungkin benci gue, dia pasti masih mikirin perasaan gue yang nggak suka sama Bastian. Tapi semalem, gue bener-bener nggak ngerti apa yang ada di pikiran Papa."

Tepukan tangan Tama di bahunya kembali membuat Dewa menghela napas kasar. "Kantin aja deh, yuk? Laper gue."

"Nah, gitu kek dari tadi! Gue juga laper nih belom sarapan," keluh Rendra dengan mengusap perutnya.

"Lo cuma belum sarapan, gue belum makan dari semalem!" balas Dewa kejam.

Tama hanya bisa menertawakan Rendra yang mendapat balasan super dari Dewa. Mereka bertiga pun turun dari atap sekolah untuk menuju ke kantin.

Dewa berdecak pelan saat melihat semua siswa berlarian dari sisi ke sisi. Entah apa yang membuat mereka begitu bahagia. Inilah yang terkadang membuat Dewa malas ke kantin, karena ia harus melewati kelas X yang sering ia anggap sebagai anak norak, berisik, dan rusuh.

"Aelah, hati-hati dong lo!" kesal Rendra saat merasakan bahunya ditabrak oleh seorang siswa kelas X.

"Ma ... Maaf, Kak. Nggak sengaja," kata siswa tersebut yang langsung lari terbirit-birit.

"Jalan tuh pake mata juga, nggak cuman kaki!"

"Sabar, Ren. Ya elah lo, gitu aja menggebu-gebu," ujar Tama dengan tertawa kecil melihat ekspresi Rendra yang sepertinya memang benar-benar kesal.

"Lagian apaan sih pada tuh bocah? Mereka pikir ini taman kanak-kanak apa?!"

Masih kesal dengan beberapa siswa yang tadi, sekumpulan siswa lainnya juga terlihat naik ke atas bersamaan. Dewa menggeleng sambil menunduk memainkan ponselnya. Ia berdiri di posisi paling pojok, dekat dinding pembatas se-dada.

Sempat mengalihkan tatapannya dari ponsel, Dewa merasakan ada beberapa orang yang terdengar berlarian ke arahnya. Begitu Dewa menaikkan pandangan, ia melihat seorang gadis yang ia kenali berada di depan kumpulan itu dan terpaksa terus maju karena terbawa arus.

Hanya hitungan detik sejak saat itu, Cinta berhasil menabrak tubuh Dewa, hingga menyebabkan sebuah benda terbang ke atas. Waktu seolah berjalan melambat. Dewa menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, Iphone miliknya terlepas dari genggamannya dan terbang jatuh ke lantai bawah.

LISTEN | ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang