Fake Smile | 14

77 10 6
                                    

Now playing : Rixton - Me And My Broken Heart

Happy Reading Everyone^^

......

Kedua sudut bibir Abraham tertarik keatas, senyumnya terkembang tapi terkesan hambar, "Maafkan saya tidak bisa lama-lama disini," ucap pria paruh baya tersebut.

Deila mengernyit bingung, jadi untuk apa Abraham kesini, apa tujuannya. Deila kira lelaki itu hendak kembali bersama mereka, dalam artian lain pulang.

Ternyata ia salah besar, seharusnya ia tak banyak menaruh harap pada manusia yang berstatus ayahnya ini.

"Mau kemana lagi? ini kan rumah kita, apa belum puas mas ninggalin kita?" ada nada terluka yang tertoreh dalam kalimat itu. Deila tahu bundanya pasti kecewa.

"Maaf, tapi saya masih ada urusan. Apa besok kita bisa bicara? Hanya berdua, ada yang perlu saya bicarakan ke kamu."

Deila mendengus, merasa muak dengan nada bicara ayahnya yang terkesan formal. Memangnya ia sedang bicara dengan siapa? kolega bisnis?

Abraham berjalan mendekati Deila. Mengulurkan tangannya seperti hendak meraih puncak kepala putrinya. Deila diam saja saat dirasanya tangan besar dan hangat itu mengelus puncak kepalanya. Diam-diam menyembunyikan luapan rindu yang berusaha ia pendam.

Walaupun sejatinya Deila juga marah pada ayahnya. Bahkan kalau Deila punya cukup keberanian, ia sudah menepis tangan itu agar tak menyentuhnya. Tidak, Deila tidak punya cukup nyali untuk melakukannya, terlebih lagi ada rasa rindu yang membuatnya tetap bertahan.

"Ayah sayang kamu nak," ucap Abraham lirih, hampir menyerupai bisikan. Mungkin hanya Deila saja yang dapat mendengarnya.

Deila tak tahu ayahnya tulus mengucapkan itu atau tidak. Ia ragu. Karena intonasinya terdengar biasa saja. Benar-benar emosi yang tidak dapat terbaca.

Tak lama ia merasakan tangan besar itu yang perlahan menjauh dari puncaknya. Kemudian Abraham pamit pergi begitu saja. Deila tidak mengerti apa yang ada di pikiran ayahnya, sebenarnya Abraham menganggap apa Deila dan bundanya. Interaksi mereka bertiga bahkan tidak terlihat seperti keluarga. Abraham pergi dengan tak tahu malunya, juga tanpa kata perpisahan yang lebih berarti.

Satu tetes air mata Deila lolos begitu saja. Ia menatap nanar punggung ayahnya yang perlahan menjauh. Bahkan saat dirinya menangis begini ayahnya tak kembali menoleh hanya untuk sekedar menilik keadaannya. Iya, hanya itu. Deila tidak mau menaruh harapan lebih besar lagi seperti mengharapkan Abraham berbalik dan mengusap air mata-nya lalu memeluknya dengan sayang.

Air mata-nya kembali lolos, tetes demi tetesnya mengalir deras, Deila menunduk mencoba menahan tangisnya sembari diam tak bersuara sama sekali.

Rasanya kesal. Sesak dirongga dadanya ia tahan mati-matian. Napasnya serasa tercekat membuat tenggorokannya sakit karena menahan tangis. Tak ada pilihan lain. Segera ia berbalik seraya menghapus jejak linangan air matanya dan beranjak pergi kekamar.

Zhafran dan Azka yang semula berdiri diambang pintu pun segera menyingkir, membiarkan gadis malang itu pergi.

Suasana hati Deila benar-benar kacau. Rasanya ia malas sekali tersenyum, bahkan untuk sekedar menarik kedua sudut bibirnya, membuat senyum tanpa arti seperti yang biasa ia lakukan pun susah. Pokoknya tidak bisa.

Kalau boleh jujur, Deila ingin mengamuk sekarang juga. Membanting pintu, memecahkan kaca dengan tinjuannya, mengacak-acak kasur dan merobek bantal sampai isinya berserakan kemana-mana. Tapi nyalinya untuk melakukan itu semua tak cukup. Deila masih punya akal sehat untuk mengamuk seperti itu, karena ia tau amukan bundanya pasti menanti jikalau ia membuat kamarnya seperti kapal pecah.

Fake Smile [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang