DUA PULUH LIMA pasang meja dan kursi tersusun amat rapi, lima baris ke belakang dan lima baris ke kiri. Tidak ada perubahan yang berarti, meski beberapa waktu telah berganti tanpa ada kesempatan untuk mengunjungi.
Tak hanya suasana yang tiada perubahan, bahkan tiap sudut dalam ruang masih nampak amat jelas kilasan ribuan kenangan. Bak film lawas yang diputar melalui mesin usang, waktu seolah kembali mengulang.
Tawa para gadis, celotehan berita tak pasti yang tiada habis, dan juga sumpah serapah bersambut sebutan para penghuni kebun binatang kembali menyapa rungu hingga membuat meringis.
Lantas pada kursi ketiga tepat di barisan yang berbatasan dengan jendela, entitas tunggal pengisi ruang pun memaku netra.
Di temani angin sore yang menerpa tirai jendela, bayangan paras ayu dengan helaian jelaga menatap langit yang mulai nampakkan semburat jingga.
Masih dibalut kemeja putih dengan rok abu-abu yang melingkar pada pinggangnya, nampaknya ia masih lakukan rutinitas seperti biasa sebelum kembali ke kediamannya.
Tiada yang berubah meski telah sekian lama, termasuk jaket biru tua yang berada digenggamannya.
Sudah lama sekali, ya. Ternyata selama itu kamu memendamnya.
"Loh, ngapain kakak di sini? Panitia sudah kumpul semua, tuh."
Rindu, efeknya besar juga, ya. Bahkan dapat melupakan hal yang sedemikian pentingnya. Niat hati hanya ingin memeriksa keadaan, justru tenggelam dalam kenangan.
Astaga, memalukan.
"Liat kelas lama aja, Dek. Malah makin kangen."
Kapita dengan helaian jelaga celingukan kesana kemari, netra eboni menyapu pandang seisi ruang kelas dengan amat jeli. Nampak dengan jelas raut antusias pada muka, yang akhirnya salurkan binar pada netra.
"Seriusan kakak belajarnya di kelas ini?"
"Wah! Betulan?""Iya, tiga tahun belajar di sini."
"Tiga tahun? Eh—"
Kerutan halus menghiasi dahi, yang mengubah pula ekspresi. Kedua telapak tangan mungil itu dinaikkan, lantas jemari digerakkan. Seolah menghitung sesuatu yang entah tidak dapat dijelaskan.
"Dua puluh delapan, dua puluh tujuh, dua puluh enam, dua puluh lim—HEH! DUA PULUH LIMA!"
Suara melengking menghantam rungu, bersama tepukan telapak tangan pada dada yang dihantamkan tanpa sedikitpun ragu.
Sontak yang ditepuk pun mundur satu langkah, sebelum kembali dapatkan respon yang lebih parah.
"Angkatan dua puluh lima? Serius, Kak?!"
"Iya. Memang kenapa, 'toh?"
"Ini sakit, 'loh, kamu pukul, Dek.""Angkatan dua puluh lima, jumlah murid dua puluh lima, kelas Umum lima, yang itu 'kan, Kak?"
"Ah, heem."
"Argh! Sakamada! Yang dielu-elukan semua murid, ternyata kakak salah satu penghuninya, toh."
"Harusnya ditambah... banyak rahasianya."
"Eh."
"Kamu tahu, Dek? Persahabatan itu sangat menyenangkan, bukan? Saat kita tertawa, mereka hadir menambah jutaan rasa yang buat semakin bahagia. Lalu saat kita terluka, mereka bawakan segenggam kasih dan obat untuk menyembuhkannya. Apabila kita terjatuh, mereka pun dengan suka rela ulurkan tangan dengan sematkan jutaan harapan."
"Tapi apa kamu tahu, Dek? Kalau persahabatan itu juga mengerikan."
"Loh, maksudnya?"
"Mereka bisa saja melakukan apapun untuk memuaskan diri sendiri dengan berlandaskan kata 'persahabatan'. Jangankan sesuatu yang ringan, bahkan nyawa pun bisa jadi mainan dan ikatan yang telah dikaitkan dengan mudahnya di patahkan."
"Kak..."
"Seperti kami. Yang dulunya sedekat nadi, kini untuk bersua pun Tuhan tidak merestui."
Kau tahu semesta, perihal dua puluh lima persona yang bersua dalam kelas Umum lima pada angkatan dua puluh lima, yang menorehkan seribu satu canda dan tawa hingga binar bahagia selalu nampak pada netra.
Nampaknya mereka terlalu gemar bercanda, hingga semesta pun berikan candaan yang tak terduga.
Astaga, apa kau tidak bisa beri kelonggaran untuk mereka dihari selanjutnya, Semesta?
KAMU SEDANG MEMBACA
dua lima pena, 2000
Fanfiction❛ Mereka terlalu gemar bercanda, hingga kau beri canda penuh luka. Semesta, apa semua itu belum cukup untuk mereka? ❜ non-baku