"Kalau kamu terus keras kepala, bukan Cuma nama kamu yang saya hapus dari peserta untuk festival. Tapi semua murid dari umum-lima."
ㅤ
ㅤ️
ㅤ️ㅤ️
ㅤ️
ㅤ️
ㅤ
ㅤ️
ㅤ️ㅤ️
ㅤ️
ㅤ️
ㅤ
ㅤ️
ㅤ️ㅤ️
ㅤ️
ㅤ️Tiap kata yang terucap dari birai berpoles merah menyala terngiang dalam minda. Merongrong segala kesabaran yang telah berada di ujung tebing murka.
Jika saja malam itu ia mengikuti kata Nisaka untuk segera mengantarkan pulang ke kediamannya, mungkin saja perkelahian yang menjadi sebab utama pemanggilannya kini tidak pernah terjadi. Hingga kembali memancing emosi.
Aryaseka hanya dapat menenggelamkan kapita dalam kedua lengannya, usai memasuki ruang kelas Sakamada dengan membuat kegaduhan sederhana. Ya, seperti biasa, bantingan pada pintu yang kerap kali dilaku.
Bahkan celotehan Sangaji dan Sandyakala tidak sedikitpun mendapatkan respon Aryaseka, walau sekadar geraman seperti biasa.
Meskipun begitu, beberapa pemuda dan pemudi yang melihatnya pun masih nampak mati kutu. Terutama nona di sudut kiri pada barisan pertama yang membisu.
Wajahnya semakin memucat, meskipun memang memiliki kulit pucat sejak pertama kali menyapa bumantara. Namun, guratan pada wajahnya saat ini lebih dari hari-hari biasa. Bahkan binar yang tiada pernah absen menghiasi kedua netra jelaga pun seolah lesap dalam enigma.
Bibirnya kelu, hatinya meragu, dan jiwanya tergugu.
Andai saja ia tak punya hati nurani, mungkin telah berteriak tanpa tahu diri, perihal perihnya saat asa yang tergantung tercabik iri dan dengki.
KAMU SEDANG MEMBACA
dua lima pena, 2000
Fanfic❛ Mereka terlalu gemar bercanda, hingga kau beri canda penuh luka. Semesta, apa semua itu belum cukup untuk mereka? ❜ non-baku