19. Kematian

918 99 2
                                    

James terengah-engah karena berlari. Darah berdebar di telinganya — detak jantungnya sendiri bergema di sekujur tubuhnya. Dia berbaring terkulai di sisinya. Rasa sakit melintasi pinggangnya, tapi tidak buruk; dia pernah mengalami yang jauh lebih buruk sebelumnya. Perlahan, dia berdiri.

Dia masih hidup.

Dan seharusnya tidak.

Hanya beberapa detik sebelumnya, dia melemparkan dirinya ke garis kutukan kematian. Avada Kedavra.

Dolohov yang menembaknya.

Dia berbalik. Dolohov sudah pergi.

"Remus?" tegur James, suaranya panik. Tidak ada jawaban.
"Remus!" teriaknya lagi, lebih keras.

Tidak ada jawaban. Akhirnya, James melihat ke bawah. Ada dua sosok di tanah. Salah satunya memiliki rambut merah muda yang panjang.

Tonks.

Satunya lagi berbaring di atas tubuhnya, seolah melindunginya. Tangannya terkunci dengan tangan wanita itu, dan wajah mereka terpisah beberapa sentimeter. James melihat wajahnya dan membeku ketika matanya menelusuri beberapa bekas luka dan mata ambarnya yang terbuka.

Remus.

James berlutut. Dia tidak mungkin mati. Remus tidak mungkin mati.

Remus telah berjanji padanya untuk berada di sisinya, untuk membantunya.

Dia melanggar janjinya.

"Remus!" ucap James terisak.

Dia bermaksud mati; dia terjun ke depan kutukan itu.

Dalam sebuah cerita, itu akan berhasil. Dia akan mati, dan Remus akan hidup. Tentu, Remus akan kecewa, tetapi dia juga akan tetap hidup.

Itu menyatakan betapa khianatnya dunia ini. Berlutut, James menarik kepala Remus dari dada Tonks.

"Remus — Remus, please," dia memohon. Mata Remus yang terbuka menatap kosong pada James.

"Please, Remus, bangun." Dia tidak bangun.

James tahu dia sudah mati; tak ada keraguan dalam benaknya. Dia telah melihat banyak orang mati, dan mata Remus yang tak berkedip menyatakan kematian — meski dia sangat berharap bahwa itu tidak nyata.

"Remus," raung James, mengusap rambut Remus dengan tangan gemetar.

Dia tak terkena sasaran. James bermaksud memberikan hidupnya untuk seseorang.

"Tidak adil!" teriaknya. "Mengapa kau mati sedangkan aku harus hidup?" Dia mendorong Remus darinya dan berdiri.

"Bunuh saja aku," dia memohon, namun tak ada orang di sana untuk mendengarkannya. "Bunuh aku." Dia melihat sekeliling medan perang. Mereka tidak membaik. Tampaknya ada lebih banyak pelahap maut daripada ketika mereka memulai pertempuran.

James mengambil satu langkah namun jatuh berlutut lagi.

"Please," raungnya. "Remus..."

Tonks telah mati, dan Remus tampak hancur — sama hancurnya seperti James ketika Lily mati. Kemudian Remus mati.

Sesederhana itu.

Dan serumit itu.

Bagi Remus, tak ada penantian — seumur hidup — selama bertahun-tahun ketika mengetahui bahwa istri mereka sudah mati. James merasa senang untuk Remus.

Dia tidak akan mengalami apa yang James alami.

Remus meninggalkan Teddy. Pikiran itu tiba-tiba melintasi kepalanya. Dia mengulurkan tangan dan mengambil gambar yang terletak menghadap kepala Tonks. Tonks menatapnya dengan tatapan matinya, tampak seolah dia bisa melihatnya.

In His Eyes | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang