6. Semerbak Tinta

188 22 3
                                    

Sore hari ditemani gerimis hujan, membawa nuansa tenang ke kediaman rumah Bae. Rumah yang dulu selalu ramai kini perlahan mulai ditinggalkan personilnya. Meskipun begitu kehangatan kediaman Tuan dan Nyonya Bae akan selalu terasa di setiap penjuru.

Tuan Bae sedang duduk di meja ruang makan bersama laptop kerja dan beberapa tumpukan berkas dari Rumah Sakit Bae. Punggungnya terlihat tegap meski tidak muda lagi. Secara cekatan berkas-berkas rumah sakit tersebut ia baca.

"Masih sibuk dengan pekerjaanmu?" Nyonya Bae menghampiri dengan dua cangkir kopi dan meletakkannya di atas meja.

"Seperti biasa, aku masih mencoba mencatat seluruh surat kepemilikan saham rumah sakit kita," ujar Tuan Bae mengangkat cangkir kopi miliknya.

"Agaknya kau terlalu tua untuk itu," canda Nyonya Bae tersenyum menggoda suaminya.

Tua Bae hanya tertawa sebelum mengajak istrinya bersulang atas dua cangkir kopi.

Canda di wajah sang istri berubah sendu ketika mengingat perkara apa yang direncanakan suaminya.

"Kau sudah memikirkan hal ini kan?" sahut Nyonya Bae pelan-pelan.

"Maksudmu?" Tuan Bae balas bertanya.

Sinar ragu menghiasi raut wajah halus keibuan sang istri, ditatapnya suaminya betul-betul kemudian melanjutkan.

"Menjual rumah sakit bukan perkara mudah,"

"Tapi itu harus dilakukan," wajah Tuan Bae mengeras. Ditaruhnya secangkir kopi panas kembali ke atas meja. "Saat aku tau SL Inc. berencana membeli seluruh saham rumah sakit kita, aku tidak bisa membiarkannya. Aku ingin diganti, tentu, tapi bukan oleh SL Inc."

Melihat sang istri tidak menampilkan respon, Tuan Bae melanjutkan.

"Tidak ada yang lebih baik selain memberikan Rumah Sakit Bae kepada keluarga Kim. Aku percaya besanku tanpa ragu sedikitpun dan aku tau Suho akan menjaga itu sebaik yang dia bisa,"

"Apa kau sudah membicarakan ini kepada Irene? Aku tidak ingin dia kecewa,"

"Irene tidak akan kecewa. Dia tidak pernah menginginkan posisi ini. Selain itu..."

"Kau berharap untuk segera meminang cucu bukan?" Nyonya Bae melirik suaminya. "Bukan hanya kau, aku pun,"

Tuan Bae tersenyum dan merangkul istrinya. "Seandainya anak itu tau bahwa ayahnya tidak bertambah muda lagi setiap hari,"

Nyonya Bae mengelus punggung tangan Tuan Bae yang terlingkar di bahunya. "Dia tau, percayalah padaku. Irene itu kuat. Dia bisa membantumu mengurus rumah sakit dan mengurus keluarganya,"

"Aku tidak mau," Tuan Bae menggeleng. "Aku sudah cukup membebaninya. Anak itu pantas menghabiskan watu dengan keluarganya kelak. Aku tidak bisa membiarkan kehadirannya hanya untukku,"

Nyonya Bae hanya mengangguk diam, dia mengerti tujuan suaminya. Hanya saja, Nyonya Bae kenal betul putrinya. Meskipun keras kepala seperti ayahnya, Irene adalah sosok pekerja keras. Jerih payah yang ia lakukan untuk menjadi dokter seperti sekarang sangat luar biasa.

Irene pantas tau. Batin Nyonya Bae. Tidak, dia pantas diajak berdiskusi tentang ini. Dia bagian keluarga Bae.

Sayangnya tidak ada yang mampu membicarakan itu kepada suaminya.

Karena, sekalipun Irene menolak dan menyanggupi dirinya mengambil alih kekuasaan sang ayah, Nyonya Bae paham Tuan Bae tidak akan menerima itu. Ia memilih diam daripada berdebat dengan putri semata wayangnya.

Bekerja shift malam di Rumah Sakit Bae bukanlah kebiasaan Seulgi. Wajar saja, sebagai kepala perawat salah satu tugas Seulgi adalah membagikan shift malam, bukan melaksanakannya. Tapi, ketika kepala direktur sekaligus pemilik Rumah Sakit Bae sekaligus ayah dari sahabatnya meminta Seulgi untuk shift malam, bagaimana dia lari dan menolak?

Risak Rona [ON-HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang