#6 Kaos Olahraga

50 4 0
                                    

Dua buku tergeletak di atas ranjang tempat tidur. Benda berbentuk persegi panjang pipih itu dalam keadaan terbuka di samping pemiliknya yang masih merasakan kenikmatan dalam mimpinya.

“Bangun Tha udah pagi,” seru Arrif membangunkan Artha. Kalimat itu terus diulang-ulang oleh Arrif.

Namun, Artha tak kunjung terbangun dari tidur lelapnya. Arrif meninggalkan Artha lantaran ia juga harus siap-siap berangkat kerja. Ia mengira kalo Anak lakinya itu kecapekan.

Langkah Arrif mengarah ke dapur. Menemui Kartika yang sedang meracik bumbu masakan untuk sarapan satu keluarga.

“Artha belum bangun Bu, udah Bapak bangunin enggak kunjung terbangun,” ucap Arrif dengan melewati Kartika dan menuju kamar mandi.

“Dinar.” Kartika memanggil Dinar yang sedang asyik menonton kartun di teve.

“Iya Bun,” Dinar beranjak dari tempat duduknya menuju sumber suara. “Ada apa Bun?” ucap Dinar dengan menatap Kartika yang sibuk mengulek cabai.

“Kakakmu itu belum bangun, Dinar bangunin ya sayang!” seru Kartika.

“Pakai air seember enggak Bun?” Dinar mengangkat kedua alisnya.

“Enggak usah, pukuli aja pakai gulingnya!”

“Oke Bun,” ucap Dinar sembari memutar badan menuju kamar Artha.

Dinar mengambil guling yang ada di sebelah badan kakaknya. Mengangkat guling itu dan mengayunkan ke arah tubuh Artha. Dinar mengulangi berkali-kali.

“BANGUN KAK!! UDAH PAGI.” Dinar membisik ke telinga Artha dengan suara yang cukup keras. Hingga suara Dinar itu menyeruak masuk ke telinga Kartika.

Dentuman keras dari guling yang dilayangkan Dinar membuat Artha terbangun. Usai kakaknya terbangun, Dinar kembali menuju depan teve yang ia tinggalkan lima menit lalu.

Artha bangkit dari posisi tidurnya. Berusaha membuka matanya lebar-lebar. Melihat sekelilingnya. Didapati sejumlah buku yang masih terbuka lengkap dengan pena yang tergeletak di atas buku itu.

“Astaga, PR gue belum kelar,” teriak Artha sambil menepuk jidatnya. Artha bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan badannya.

***

Artha sudah siap menuju ke sekolah. Namun, PR-nya yang belum usai dikerjakan membuat ia harus menyelesaikan terlebih dahulu.

Ia begitu memegang prinsip. Namanya aja PR, ya dikerjakan di rumah, bukan di sekolah. Artha terburu-buru mengerjakan PR itu agar bisa selesai dan tidak terlambat ke sekolah.

PR terselesaikan. Tangannya memegang buku yang segera dimasukkan ke dalam tas. Merangkul tas dan menggendongnya menghampiri Gata setelah berpamitan dengan Kartika.

Artha mengendarai Gata dengan kecepatan tinggi. Tanpa menghiraukan jalan yang tak selamanya lurus. Berkelok, menanjak, dan juga terdapat genangan air yang tersisa usai hujan semalam.

“Pokoknya gue jangan sampai telat untuk kedua kalinya.”

***

Artha berlari menuju gerbang sekolah yang akan segera ditutup. Untunglah ia tidak telat. Napasnya terengah-engah ketika menyalami tiga guru yang berdiri sejajar di depan gerbang.

“Pagi Pak,” ucapan Artha menyambut guru-guru itu dengan suara yang masih terengah-engah.

“Iya pagi juga,” jawab guru yang disalami Artha pertama.

“Jaketnya dilepas! seru salah satu guru yang berkacamata.

“Iya pak,” balas Artha sembari melepas gendongan tas. Menjepit tasnya dengan kedua kaki. Baru menarik kedua tangannya bergantian hingga terlepas dari jaketnya.

Artha : Ksatria Penawar LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang