#10 Tiket Pertandingan

40 4 0
                                    

Pagi-pagi buta Artha telah bersiap bergegas menuju ke sekolah. Entah apa yang membuatnya berangkat se-pagi itu. Dikebutnya Gata hingga menyentuh angka delapan puluh kilometer per jam.

Sepuluh menit perjalanan, Gata telah memasuki area parkir untuk pelajar SMA Atlantik. Artha segera melepas helm yang ia dikenakan dan menggantungkannya di spion.

Langkahnya cepat meninggalkan tempat parkir itu dan menuju ke gerbang sekolah. Belum ada guru yang berjejer untuk menyalami siswa-siswi di pagi itu. Artha pun dapat melenggang dengan cepat ke kelas Sayla.

Loh kok ke kelas Sayla? Ngapain?

Dibukanya pintu kelas Sayla. Hal pertama yang ia lakukan adalah mencari spidol. Didapatinya spidol itu dan ia segera menari-narikan spidol itu di white board yang kosong tanpa tulisan satu pun.

“DEAR SAYLA, MAAFIN AKU YA.” Tulis Artha di papan tulis itu dengan menambahkan kalimat “by Artha” yang lebih kecil daripada tulisan itu.

Artha juga menuliskan “Dear yang piket hari ini, jangan dihapus dulu sebelum dibaca Sayla.” Tulisan itu seukuran dengan kalimat “by Artha” dan terletak di bawahnya.

Usai mencoret-coret papan tulis kelas XI IPS 1, Artha bergegas meninggalkan tempat tersebut dan menuju kelasnya dengan langkah seperti orang yang sedang dikejar.

***

Sayla merasa kebingungan ketika ia memasuki ruang kelasnya. Teman-temannya yang telah datang lebih awal darinya menyorakinya dengan serentak. “Cieee.”

Sayla semakin bingung. Ia mencoba berkacak pinggang. “Apa yang salah dari gue ya?” pikir Sayla.

“Say, tuh lihat di papan tulis!” seru salah satu temennya.

Sayla mendongak ke arah papan tulis. Sekejap usai membaca tulisan itu, Sayla bergegas mencari penghapus papan tulis. Namun, tempat yang biasa menjadi wadah penghapus itu kosong.

“Nyari ini?” ucap sesosok pria yang menghampiri Sayla.

Sayla membalikkan badan menatap siapa yang bertanya kepadanya. Artha.

“Hapus enggak!” ancam Sayla.

Namun, Artha enggan untuk menghapus sebelum ia dimaafkan. Sayla mencoba mengusapkan kedua telapak tangannya ke tulisan di papan itu.

“Aku minta maaf Say,” ujar Artha dengan memegang tangan Sayla yang berusaha menghapus tulisan itu. Namun, Sayla melepaskan genggaman itu dan berlari keluar kelas menuju lapangan basket.

“Udah maafin aja Say, hargai perjuangannya,” ketus salah satu temennya yang duduk di dekat pintu.

“Say berhenti dulu dong. Aku harus pakai cara apa lagi biar kamu ngasih maaf ke aku?”

Sayla menghentikan langkah tepat di tengah lapangan itu. Hanya mereka berdua yang ada di lapangan itu. Sementara temen-temen mereka saling bersorak dari depan kelas XI IPA 1 dan juga XI IPS 1.

“Tha dengerin aku ya, kamu itu enggak salah jadi enggak usah minta maaf,” jelas Sayla.

“Tapi aku ngerasa bersalah Say.”

“Ya udah iya aku maafin. Udah lah malu dilihatin orang banyak,” ujar Sayla dengan membalikkan badan.

“Eh bentar Say. Ini aku ada tiket pertandingan futsal buat kamu. Kalo mau nonton ntar datang aja sepulang sekolah.”

Sayla menerima tiket itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian meninggalkan Artha sendirian di lapangan basket.

***

Bel istirahat kedua berbunyi. Artha segera keluar kelas dengan menggendong tas. Meninggalkan sebuah surat ijin untuk tidak mengikuti pelajaran di jam ke-7 hingga ke-10.

Ia pulang lebih awal dikarenakan jadwal pertandingan futsal nya pada pukul 16.30. Memang pada saat istirahat kedua jarum jam masih menunjukkan pukul 12.30. Namun, untuk perjalanan ke GOR Khatulistiwa juga memakan waktu yang lama.

“Artha semangat ya, ntar pulang sekolah aku langsung kesana kok,” ucap Kyara yang menghampiri Artha.

“Iya, makasih ya Ky. Hati-hati ya kalo kesana,” pinta Artha diikuti senyuman darinya.

Para pemain yang terpilih mengikuti turnamen berkumpul di bawah pohon rindang. Menerima motivasi dari guru pembimbing futsal. Sebelumnya akhirnya, sepuluh pemain itu keluar dari pintu gerbang secara bersamaan.

***

Para pemain menikmati makan siang terlebih dahulu sebelum melakukan perjalanan ke tempat dilaksanakannya turnamen tersebut, GOR Khatulistiwa.

Bus elf milik sekolah yang membawa para pemain beserta pelatih itu berhenti di sebuah rumah makan sederhana di pinggir jalan.

Dengan canda tawa mereka menikmati hidangan yang diberikan pelayan rumah makan tersebut.

Tepat pukul 14.00 Bus itu menggelindingkan keempat bannya meninggalkan rumah makan tersebut. Perjalanan satu setengah jam harus ditempuh bus elf berlogo SMA Atlantik itu. Lantaran jarak antara kedua tempat itu cukup jauh. Emang masih dalam satu kota, namun kedua tempat itu bisa diibaratkan dengan kutub utara dan juga kutub selatan.

Mengingat perjalanan yang lama, Benua menyuruh para pemain untuk istirahat. Namun, Artha masih saja sibuk dengan ponselnya. Setelah ia membuat story WhatsApp, banyak dari temen-temennya mengucapkan semangat kepada Artha, kecuali Sayla.

***

Tiba saatnya bus itu menghentikan laju. Tepat di sebelah kanan GOR Khatulistiwa, bus yang menampung dua belas orang itu memarkirkan diri. Jam di tangan Artha menunjukkan pukul 15.27. Benua menyeru para pemainnya usai sepuluh pasang kaki menginjakkan paving di halaman parkir.

“Kita cari tempat dulu untuk pembekalan materi.”

“Di sana aja Coach yang teduh,” ucap Barra sembari menunjuk tempat di bawah pohon.

“Siap kapten,” jawab Benua dengan mengajak para pemain lain untuk melangsungkan kaki ke sana.

Artha mengikuti arahan Benua dengan melirik ke arah gerbang parkir. Melihat orang-orang yang berbondong-bondong dengan antusias tinggi menonton tim futsal sekolahnya berlaga.

Artha : Ksatria Penawar LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang