#16 Amplop Biru Muda 1

44 5 0
                                    

Kedua matanya menatap dengan agak disipitkan. Terfokus ke arah wajah yang sempat diperban. Wajahnya yang kemarin penuh luka, sekarang penuh dengan keringat usai menjalani latihan rutin sebelum turnamen bergulir.

Pandangannya bergeser ke arah jam lonceng yang tergantung di dinding kamarnya. Jarum pendek menunjuk ke angka enam dan angka dua belas tertutup sebagian oleh jarum panjang.

Jendela kamarnya yang masih terbuka memberikan pemandangan yang gelap. Tangannya meraih handuk warna biru yang tergantung. Menariknya dan membawanya ke kamar mandi.

Tak butuh waktu lama untuk Artha membersihkan dirinya. Ia bergegas kembali ke kamarnya. Membuka sebuah almari berkaca. Menarik kaos berwarna abu-abu dari tumpukan kaos lainnya. Memadukannya dengan celana hitam selutut.

Menutup kembali almari itu dan berdiri di depan cermin menata rambutnya dengan sisir berwarna hitam. Meninggalkan cermin itu usai ia mengira sudah terlihat ganteng.

Kedua kakinya menaiki sebuah kasur berlogo Manchester United yang acak-acakan. Bergegas menindih kasur itu dengan tubuhnya tanpa merapikannya terlebih dahulu.

Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di samping bantalnya usai memosisikan kedua kakinya lurus rata dengan permukaan kasur. Dipencetnya tombol on. Jempolnya mengusap layar membentuk sebuah pola untuk membuka layar utama.

Tak satu pun notifikasi masuk di ponselnya. Ibu jarinya mengeklik logo WhatsApp. Terdapat ribuan chat masuk di grup yang ia nonaktifkan pemberitahuannya selama 1 tahun.

Bergeser ke ruang status. Banyak status dari teman-teman yang menyimpan nomornya. Namun, semua status itu tak dilihatnya. Karena tak ada nama Sayla di salah satu status itu.

Entah mengapa setelah kejadian itu melanda, kesepian begitu dialami oleh Artha. Tidak adanya Sayla kembali mengubah hidup Artha yang sempat berwarna. Hidupnya seperti sebuah foto yang diedit dengan filter H&P.

Jarinya mengeklik sebuah photo profile yang berada di deretan paling atas ruang chat-nya dengan sebuah pin sebagai penanda. Sebuah foto yang mengekspresikan seorang yang sedang bahagia memenuhi setengah layar dari ponselnya. Wanita dengan tahilalat di atas bibir ini selalu menguasai pikiran Artha beberapa hari belakangan.

Artha merasa bersalah setelah mengusir Sayla dari rumah sakit kala itu. Ia menyesali perbuatannya.

“Kalo gue enggak ngusir dia, mungkin gue enggak lagi ngerasain seperti ini,” gumamnya.

Artha menatapi langit-langit kamarnya. Memalingkan muka dari layar ponsel yang menampakkan wajah Sayla. Tatapannya kosong seperti orang yang sedang berpikir. Entah apa yang ada di benaknya.

“Apa gue chat Sayla aja ya? Terus minta maaf ke dia atas kejadian waktu itu,” ucapnya dalam hati usai berpikir beberapa detik.

Tatapannya kembali menghadap layar ponsel. Kini ia telah di ruang chat dengan Sayla. Kedua jempolnya seakan-akan sedang mengetik. “Say aku minta maaf ya atas kejadian kemaren,” ketiknya.

Namun, hasil ketikan itu tak segera dikirim kepada Sayla. Artha mengurungkan niatnya dan kembali berpikir. Seakan-akan ada jin jahat yang membisikkan ke telinganya. “Lo enggak salah Tha, yang salah itu Sayla. Jadi yang wajib minta maaf ya dia.”

“Lo tau sendiri kan Tha, kalo Sayla enggak pernah ngucapin maaf ke lo sejak pertama lo kenal dengannya? Lo sebagai laki-laki harus minta maaf duluan Tha!” seru jin baik dari telinga satunya.

Artha menggeleng-gelengkan kepalanya seakan-akan mengusir para jin yang mengusiknya. Kedua telapak tangannya mengusap kepalanya ke belakang dan mengayunkannya ke depan dengan cepat. Membuat rambutnya acak-acakan. “Arghh,” pekiknya.

Artha : Ksatria Penawar LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang